"Aku kehabisan anggur."
Kalimat itu mampir di ponsel saya kurang lebih 10 tahun lalu.
Dalam hening yang panjang, saya balas SMS itu dengan kalimat yang saya sesali di tahun keempat sejak SMS itu dikirimkan. Salah satu kalimat terbijak yang pernah saya lontarkan seumur hidup.
"Setahuku anggur yang paling baik akan dikeluarkan terakhir."
Kalau dipikir-pikir, kok bisa ya "seorang saya", menjawab begitu?
Dan homili pada suatu sore mengirim kembali memori tersebut. Saya terhenyak mendengar kalimat serupa. Kali ini, rasanya ingin sekali membalasnya dengan kata-kata, "Akupun. Akupun."
--
Jikalau hidup laksana sebuah pesta dan sajian di dalamnya ialah alasan untuk kita tetap bertahan di pesta tersebut, apakah anggur, kue, dan musikmu di dunia ini? Apakah pesta yang kehabisan "amunisi" lantas membuatmu kuyu "tak bergizi" sehingga tak kuat memenuhi tawaran menari, menghadapi basa-basi, dan obrolan peer group yang dengan semangatnya ngrasani Sang Mempelai, bergosip tentang biaya dekorasi?
Jika pekerjaanmu, studi, relasi, dan keluargamu laksana sebuah pesta, apakah yang bisa membuatmu kehilangan nutrisi untuk bangun setiap pagi, tersenyum kepada keluargamu, melakukan rutinitas yang tak lagi ada roh-nya, dan pulang kembali ke hunian yang mungkin mulai enggan kau sebut sebagai rumah?
Pada kesempatan lain saya tercenung di muka sebuah toko barang bekas. Menyaksikan pemiliknya dan entah siapa lagi 3 orang lainnya, mengangkat artefak peradaban yang akan dijual. Banyak tanya menyeruak: berapa besar keuntungannya? Apakah cukup untuk membayar jasa angkut pada 3 orang lainnya?