(Saat itu) sang pria berusia 20-an. Wajahnya sedikit berpaling. Berkeringat menahan tangis.
Saya tersentak. Seingat saya, sohib saya ini (anggap saja namanya Nio) sudah bersedia menjadi narasumber.
Kala itu, saya mengambil mata kuliah HAM dan Perubahan Politik. Dosen meminta peserta mata kuliah untuk membuat makalah yang mengulas studi kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Berhubung saya punya cukup banyak teman asal Indonesia timur, saya iseng memilih kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Kurung waktu penelitiannya adalah sepanjang usia hidup Nio.*
Memang, namanya juga iseng. Saya tidak terlalu berpikir mengenai risiko ngobrolin perkara yang satu itu. Saya pikir, wah makalah ini akan keren sekali. Saya akan berkesempatan mengenalkan kasus teman-teman Timor yang jarang kami ulas. Memang, ketika itu kuliah kami lebih banyak berfokus pada kasus 65, Mei 98, tanah ulayat, dan lain-lain yang kerap terjadi di Pulau Jawa dan Sumatera. Papua sesekali.
Tapi masalahnya, cakupan sejarah konflik Timor Timur itu terlalu luas dan kompleks untuk bisa dirangkum dalam sebuah makalah kuliah. Anggaplah Operasi Seroja dimulai tahun 1975 dan Nio lahir tahun 1984. Berarti Nio lahir dalam situasi konflik yang telah berlangsung selama 9 tahun. Bisa jadi ia sebenarnya tidak tahu muasal pertumpahan darah di tanah kelahirannya. Makalah yang tak seberapa akurat ini pun berisiko hancur lebur karena mengambil sampel yang kurang sesuai.
Tetapi saya tidak pernah menyesal mengerjakan makalah yang ambisius ini. Karena pada akhirnya bukan perkara HAM atau referendum Timor Leste yang menjadi poin berharga untuk saya, melainkan sebuah kenyamanan yang digugat. Kesadaran yang muncul berkat sebuah kalimat yang mengejutkan yang dituturkan dari bibir Nio yang bergetar.
"Maaf Widha, kamu orang Jawa"
Wuapa? Kenapa ini orang bisa-bisanya menyalahkan kejawaan saya. Memangnya apa yang salah dari suku Jawa?
Oke, sebelum protes, saya ceritakan dulu proses sampai Nio mengatakan hal tersebut. Ketika itu kami melakukan wawancara dengan duduk bertiga di sebuah ruangan bersama Nio (warga Timor Timur) dan Aran (warga Timor Barat). Keduanya laki-laki. Keduanya teman baik saya. Maka bolehlah jika saya mengharapkan sesi ngobrol tersebut berlangsung santai.
Setelah bertanya tentang sejarah pergolakan di Pulau Timor, sampailah kami pada peristiwa Santa Cruz. Pada bagian ini Aran mulai terlihat menata bicaranya, sementara Nio sejak awal sesi memang banyak berdiam. Ia hanya menjawab dengan satu atau dua kata. Sampai tibalah saat itu. Saya mengajukan sebuah pertanyaan. "Apa itu peristiwa Santa Cruz?"