Kalau anda sering daring (online), di media sosial manapun, kita akan menemukan banyak sekali kata "JANGAN!!", "ANDA SALAH", "BUKAN BEGITU!!", "YANG INI BENAR", "BUNUH!!","LAWAN"!!, dan kalimat2 penghakiman lainnya. Kalimat-kalimat yang sanggup mengintimidasi pembacanya, menumbuhkan rasa insecure dari apa yang selama ini diyakininya, atau reaksi yang lebih keras, marah karena merasa terus-terusan disalahkan, atau minimal seperti yang saya rasakan, gerah... *ambil kipas angin
Sekali dua kali melintas, bisa diabaikan. Tapi jika berkali-kali terpapar, bisa-bisa anda membangunkan Naga yang sedang tidur siang. Alih-alih menerima masukan dengan hati dan tangan terbuka, pembaca akan menyemburkan nafas naga, menolak dengan keras ide yang disampaikan. Kalaupun ada yang setuju, mereka lama-lama juga akan ikut merasa tidak nyaman, kemudian pura-pura tidak kenal. Seringkali saya menemukan informasi yang baik, ide yang konstruktif, berakhir dengan penolakan karena dianggap lebay.Â
Dalam hal ini saya setuju. Saat ini hal sederhana banyak didramatisir, atau hal yang benar disampaikan pada konteks yang kurang tepat. Respon yang didapat bisa ditebak, ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Yang merasa Sangat Setuju, membagikan informasi berkali-kali. Yang SANGAT TIDAK SETUJU, memberikan serangan balasan yang tidak kalah lebaynya. Mereka saling tuding, menghina dan mentertawakan, seakan-akan orang yang pendapatnya tidak sama adalah (pilih salah satu): 1) Orang Bodoh, 2) Pendosa, 3) 1 dan 2 benar.Â
Dan perlu digaris bawahi, di bold, kemudian di highlight warna hijau neon, bahwa itu semua terjadi DARING, dunia maya!! Kita berantem dengan orang-orang yang misalnya ketemu dijalan, belum tentu kenal. Kita bisa saja membenci seseorang, karena apa yang kita baca di dunia maya, tapi saat ketemu, ngajakin selfie. Kita begitu mengagumi figur seseorang yang kita kenal di dunia maya, hingga menyetujui semua apa yang dikatakannya. Sebentar, saya garuk-garuk aspal dulu..
Lalu apa hubungannya cerita diatas dengan bukunya Harper Lee? Minggu lalu saya baru saja menyelesaikan buku terbaru beliau, Go Set a Watchman, sekuel dari buku menarik lainnya, To Kill a Mockingbird. Kisah ini mengambil latar belakang diskriminasi ras kulit hitam di pertengahan abad 19. Salah satu karakter utama di buku ini adalah Jean Louise, seorang perempuan yang memiliki cara berpikir yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Dibesarkan oleh seorang ayah kulit putih yang memiliki kebijakan level D̶u̶m̶b̶l̶e̶d̶o̶r̶e̶ Mahatma Gandhi, dan seorang pengasuh wanita kulit hitam berwatak keras (Ibunya sudah meninggal).Â
Ayahnya membesarkan ia hingga menjadi 'buta warna', ditengah-tengah masyarakat yang membedakan hak, kewajiban, dan segala aspek sosial lainnya dari warna kulit. Jean Louise mampu melihat setiap manusia memiliki hak hidup yang sama, tanpa membedakan warna kulit (I know, sounds liberal isn't it? :p) Â Â
Singkat cerita, diakhir cerita, Paman Jean Louise memintanya untuk mempertimbangkan untuk menetap di kampung halamannya (Jean Louise pindah ke New York untuk 'melihat dunia yang berbeda'). Seperti yang sudah diduga Jean Louise (JL) menolak keras ide Paman Jack-nya. Ini kutipan dialog mereka, yang membuat saya jadi berkata "Hmmmm..."
-----------------
JL :... aku akan berlawanan dengan setiap orang di sini. Sepertinya aku tak akan cocok. Apa yang bisa kulakukan? Aku tak bisa melawan mereka. Aku tak kuat lagi melawan...
PJ : Aku tak bermaksud memintamu untuk melawan. Kau cukup pergi bekerja tiap pagi, pulang di malam hari, bertemu teman-teman.
JL : Paman Jack, aku tak bisa tinggal di tempat yang aku tak akur dengannya dan tempat ini juga tak akur denganku