"Ayo cepat!" paksa lelaki bertubuh besar dengan kejam.
Ditariknya masuk kedalam gubuk tua di bawah kolong jembatan. Tubuh lemahnya tak kuasa melawan kuatnya aksi pencabulan lelaki itu. Lengkingan jeritannya adalah tawa mereka. Sungguh menyakitkan bagi bocah lelaki yang seharusnya menikmati masa kecilnya itu, meski harus dijalanan. Ia meringkuk menahan sakit.
Tidak ada tempat berlindung dan mengadu. Pertiwi mengangis mendengar jeritannya, melihat satu anaknya ternoda dan berulangkali itu terjadi. Pertiwi merekam semua itu dalam ingatannya, juga kejadian yang menimpa anak-anaknya yang lain., dulu, dan kemarin. Pribadi seperti apa yang kelak ada dalam jiwanya, jika di usianya yang sekecil ini anak-anak selalu mendapat perlakuan kasar, keras, dan kejam?
"Uuughhh...aaahhh!"
Pergi meninggalkan orang-orang kejam itu menjadi pilihannya yang tepat. Hembusan angin malam menuntun kakinya kemana ia harus malangkah. Bintang-bintang menghibur hatinya yang kembali luka, berkedip lalu meneteskan embun yang menyejukkan kala ia membuka mata esok hari. Dunia kelam kembali menghapus embun itu.
***
Kumpulan yang terbuang. Ya, itulah mereka. Tangan-tangan kecil yang terus mencoba menggapai dunia mereka, tetapi terus terhalang. Diluar sana, tak ada kelembutan. Hanya suara-suara keras, wajah-wajah seram, tangan-tangan kasar. Bahaya adalah bayangan mereka. Jauh dari kehidupan didalam rumah-rumah megah.
"Mengapa hanya sedikit? Berapa kaleng yang kau dapat? Dasar pemalas!"
"Saya sakit, pak" ucapnya lirih.
"Kalau begini terus, bagaimana kita dapat uang banyak?" kemarahan lelaki tua itu membuat anak-anak yang lain menunduk, takut.
"Tapi saya sakit, Pak. Badan saya lemas" jawabnya memelas.