Mohon tunggu...
Wida Reza Hardiyanti
Wida Reza Hardiyanti Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti dan konsultan

Berkarir sebagai peneliti ekonomi, hukum, dan sosial. Saat ini aktif sebagai konsultan dalam beberapa proyek penelitian dan pembangunan ekonomi. Hobi menulis, membaca, menonton film, dan bercengkrama bersama keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dilema Ibu Pekerja di Indonesia: Karir atau Mengurus Anak?

13 November 2022   04:47 Diperbarui: 30 November 2022   21:24 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kekerasan Pengasuh pada Anak Majikan Berujung Bui (Sumber: Portal berita online, 2021)

"Wanita diciptakan istimewa. Tetap tegar meski nyaris menyerah, tetap sabar meski ingin mengeluh, tetap kuat meski hampir terjatuh"

Partisipasi Perempuan di Dunia Kerja

Partisipasi perempuan di berbagai bidang memegang peranan kunci dalam upaya pembangunan suatu negara. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang merupakan pencapaian yang menjadi salah satu tujuan pembangunan, termasuk meningkatkan kesetaraan perempuan dalam di bidang pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan akses komunikasi.

Pada tahun 2019-2024, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan memiliki prioritas pengembangan perempuan yang meliputi beberapa aspek: meningkatkan pengaruh perempuan dalam berwirausaha; memperkuat peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/pengasuhan anak; dan mengurangi kekerasan terhadap perempuan.

Membahas mengenai kesetaraan perempuan di dunia kerja tentu tidak semata perempuan harus bekerja layaknya laki-laki. 

Perempuan dan laki-laki tidak bisa disamakan karena keduanya memiliki peran, tugas, dan tanggungjawab yang berbeda. 

Mendorong perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam dunia kerja dengan mengabaikan aspek peran vital perempuan dalam pengasuhan atau pendidikan anak merupakan suatu paradigma pemikiran yang salah kaprah.

Pada tahun 2021 sebanyak 39,52% atau 51,79 juta penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah perempuan. Angka tersebut bertambah 1,09 juta orang dari tahun sebelumnya yang sebanyak 50,7 juta orang. Namun, perempuan yang bekerja di sektor formal mengalami tren penurunan; 39,19 persen perempuan bekerja di sector formal pada tahun 2019 dan mengalami penurunan hingga 36,20 persen pada tahun 2021 (BPS, 2022). Perempuan juga lebih memilih untuk bekerja paruh waktu yaitu sebesar 37,1%, angka ini jauh lebih besar dibandingkan laki-laki 20,36% (SAKERNAS, 2022).

Berbagai faktor menjadi penghambat bagi perempuan, terlebih bagi yang sudah memiliki anak untuk masuk ke dunia kerja. Beberapa di antaranya antara lain: suami yang kurang atau tidak memperbolehkan istri bekerja di luar rumah, tempat kerja yang tidak inklusif dan kurang mendukung ibu bekerja (misal dengan menyediakan ruang menyusui), kompetisi dunia kerja, diskriminasi terhadap perempuan (perusahaan yang lebih mengutamakan mempekerjakan laki-laki), dan stigma lingkungan bahwa perempuan harus di rumah. 

Penghambat perempuan bekerja terjadi mulai dari saat perempuan akan masuk dunia kerja maupun ketika perempuan sudah berada di tempat bekerja. Data menunjukkan bahwa mayoritas ibu pekerja keluar dari pekerjaan dan meninggalkan karir demi mengurus anaknya.

Dukungan Perusahaan dan Pemerintah bagi Ibu Pekerja

Dukungan perusahaan terhadap ibu pekerja juga masih terbilang minim. Hanya sebagian kecil perusahaan menyediakan ruang khusus menyusui atau ruang merawat anak bagi ibu pekerja yang ingin membawa anaknya ke kantor. 

Sementara itu, cuti bagi ibu pekerja hanya diberikan selama 3 bulan. Padahal, para ibu didorong untuk menyusui anaknya secara ekslusif hingga 6 bulan lamanya.

ART Terekam CCTV Memukuli Anak Majikan (Sumber: Portal Berita Online, 2021)
ART Terekam CCTV Memukuli Anak Majikan (Sumber: Portal Berita Online, 2021)

Belakangan ini memang ada wacana untuk memberikan tambahan cuti ibu melahirkan hingga 6 bulan. Rancangan aturan ini tertuang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Bab 2 Pasal 4 ayat 2a dan b yang berbunyi, "Setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan, mendapatkan waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran."

Aturan tersebut masih terus dikaji dan dipertimbangkan oleh pemerintah mengingat adanya potensi diskriminasi yang timbul terhadap perempuan yang akan/telah masuk ke dunia kerja. 

Aturan tersebut berpotensi menyebabkan perusahaan lebih mengutamakan untuk merekrut tenaga kerja laki-laki dibandingkan perempuan. 

Di sisi lain, memberikan kesempatan bagi ibu pekerja untuk menyusui anaknya secara ekslusif hingga 6 bulan akan penting bagi pertumbuhan kembang tumbuh anaknya dan lahirnya generasi emas di masa mendatang.  

Tak semua perusahaan juga menyediakan tempat dan waktu bagi ibu pekerja untuk melakukan pumping di sela waktu bekerja. Padahal, ASI perlu dikeluarkan secara kontinu setiap dua jam. 

Berbagai permasalahan kesehatan akan muncul bila ibu menyusui tidak mengeluarkan produksi ASI-nya adalah  memicu tubuh menurunkan produksi ASI, bengkak payudara yang disebabkan penyumbatan saluran ASI, risiko mastitis (infeksi saluran payudara), dan radang payudara.

Kekerasan Pengasuh pada Anak Majikan Berujung Bui (Sumber: Portal berita online, 2021)
Kekerasan Pengasuh pada Anak Majikan Berujung Bui (Sumber: Portal berita online, 2021)

Sayangnya, dunia kerja saat ini masih belum menyediakan solusi bagi ibu pekerja yang ingin mendapatkan kesempatan untuk menyusui dan merawat anak sekaligus bekerja dengan optimal. 

Solusi instan yang ditempuh para ibu pekerja mengenai permasalahan ASI ekslusif adalah memberikan susu formula. 

Sementara itu, solusi bagi perawatan anak adalah menitipkan pengasuhan anak pada anggota keluarga, mempekerjakan pengasuh (baby sitter), atau tempat penitipan anak.

Permasalahan ASI Eklusif dan Perawatan Anak

Beberapa orang memberikan solusi dari permasalahan ASI eksklusif dengan cara menyarankan ibu pekerja memompa ASI (pumping) dan menyimpannya dalam kulkas. 

Namun, perlu diingat bahwa tidak semua perempuan dapat melakukan pumping, beberapa di antaranya tidak dapat mengeluarkan ASI meskipun diupayakan untuk pumping. Hal ini dapat disebabkan ASI yang terlampau sedikit jumlahnya, faktor genetik, konsumsi makanan, dll.

Tak hanya masalah ASI, permasalahan lain yang perlu diselesaikan oleh ibu pekerja adalah pengasuhan anak. Tak adanya ruang merawat anak di kantor menyebabkan ibu pekerja tak mampu memberikan pengasuhan optimal saat masa emas tumbuh kembang anak (golden age). Hal ini berisiko menyebabkan kurang optimalnya perkembangan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual anak.

Bila kita telaah lebih dalam lagi, kompetensi dari pengasuh (baby sitter) anak di Indonesia juga masih minim. Mayoritas hanya berpendidikan menengah ke bawah (SD, SMP, atau SMA) dan banyak di antaranya yang tidak memiliki sertifikasi pengasuhan anak. Faktor tersebut menyebabkan pengasuhan anak menjadi tidak optimal dan kurang sesuai dengan yang diharapkan.

Risiko yang timbul dari pengasuhan anak yang dilakukan oleh pengasuh yaitu anak menjadi rentan mengalami kekerasan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa terdapat 2.281 pengaduan kasus kekerasan anak pada tahun 2021, termasuk laporan kekerasan yang dilakukan oleh pengasuh.

Pengasuh Menganiaya Anak Majikan  (Sumber: Portal Berita Online, 2020 )
Pengasuh Menganiaya Anak Majikan  (Sumber: Portal Berita Online, 2020 )

Kasus kekerasan pengasuh terhadap bayi 9 bulan di Jakarta yang terekam CCTV, sang pengasuh memukul bayi asuhannya yang masih berusia 9 bulan setiap pagi karena menangis saat diberikan susu formula.

Kasus lain juga terjadi di Cengkareng ketika pengasuh melakukan kekerasan terhadap tiga orang balita (bayi 1,5 tahun dan dua bayi kembar) yang diasuhnya.

Menjadi Ibu Rumah Tangga Supaya Fokus Mendidik dan Merawat Anak

Mayoritas ibu pekerja di Indonesia memang memilih untuk berhenti bekerja demi mengurus anak dan keluarga. 

Menjadi ibu rumah tangga menjadi keputusan yang mereka ambil, terlebih ketika suami telah mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga. 

Ada temuan menarik dari riset mengenai ibu rumah tangga yang mematahkan stigma bahwa ibu rumah tangga tidak bahagia dibandingkan ibu pekerja.

Sebuah survei yang melibatkan 3.000 responden perempuan menemukan bukti bahwa menjadi ibu rumah tangga lebih membahagiakan dibandingkan profesi lainnya. 

Ibu rumah tangga memiliki tingkat kebahagiaan dan kepuasan sebesar 87,2 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan ibu pekerja dengan profesi perhotelan dan event organizer (86,3 persen); seni dan desain kreatif (84,4 persen); olahraga dan pariwisata (83,7 persen). 

Temuan ini memperkuat hasil penelitian Office for National Statistics di UK tahun 2020 yang  menemukan bahwa ibu rumah tangga merasa dan meyakini bahwa dirinya juga berharga layaknya ibu bekerja.

Namun, tak semua perempuan diberikan pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga atau ibu pekerja. Tak sedikit di antara mereka terpaksa bekerja karena menjadi tulang punggung keluarganya karena suaminya sakit atau telah tiada. 

Banyak pula di antara mereka yang suaminya belum mampu mencukupi semua kebutuhan rumah tangga sehingga keadaan ekonomi memaksa mereka untuk bekerja. 

Riset memang menunjukkan bahwa faktor pendorong utama perempuan bekerja adalah desakan kebutuhan ekonomi keluarga. 

Hasil penelitian Manalu dkk. (2021) di  PT. Inti Indosawit Subur Muara Bulian Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi menunjukan bahwa faktor ekonomi yang menyebabkan perempuan ingin bekerja antara lain tingkat pendapatan suami yang relatif rendah, ingin membantu perekonomian keluarga, jumlah tanggungan keluarga yang relatif banyak, dan memenuhi kebutuhan pribadinya sebagai perempuan.

Work From Home Menjadi Alternatif Terbaik bagi Ibu Pekerja

Sebenarnya solusi terbaik yang ditempuh oleh ibu pekerja adalah WFA (Work From Anywhere) atau biasa disebut dengan istilah lain sebagai WFH (Work From Home). Metode bekerja dari rumah maka akan memungkinkan ibu pekerja untuk mengawasi anaknya di rumah sembari bekerja. Ia juga dapat memonitoring secara langsung perkembangan anaknya dengan dibantu baby sitter atau pengasuh bayinya.

Dengan begitu, berbagai risiko dari salah pengasuhan ataupun kekerasan pada anak yang dilakukan oleh baby sitter atau pengasuh dapat ditekan karena ibu pekerja dapat melakukan pengawasan secara langsung. Ia dapat mengawasi anaknya 24 jam dan melihat bagaimana pengasuhnya merawat anaknya. 

WFH (Work From Home) bagi ibu pekerja juga akan menciptakan keseimbangan antara bekerja dan urusan pribadi (work life balance), lebih fleksibel, lebih dekat dengan keluarga, dan menurunnya tingkat stres bekerja.

Sayangnya jumlah perusahaan di Indonesia yang menerapkan system WFH bagi pekerja masih sangat minim, jauh lebih sedikit dibandingkan di luar negeri. 

Oleh karena itu, perempuan dapat menciptakan sendiri peluang kerjanya sendiri dari rumah (membuka usaha rumahan atau online shop) bila tidak dapat menjadi pekerja di suatu perusahaan yang menerapkan WFH. 

Spillover effect atau dampak yang dihasilkan bagi lingkungan sekitarnya juga menjadi jauh lebih besar karena memungkinkan dirinya membuka peluang bekerja bagi perempuan lain di sekitarnya.  

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun