"Ada beberapa kesamaan antara kasus tragedi sepakbola Kanjuruhan dan tragedi Halloween di Itaewon. Apa saja kesamaan tersebut dan mengapa tragedi di tempat umum terjadi berulang?"
Gambar 1. Tragedi Pertandingan Sepakbola di Kanjuruhan
Sumber: AFP via Getty Images/STR
Gambar 2. Tragedi Perayaan Halloween di Itaewon
Publik dunia baru saja dihebohkan dengan tragedi sepakbola di stadion Kanjuruhan yang menelan banyak korban jiwa. Korban jiwa yang meninggal mencapai 131 orang. Tak sedikit pula diantara korban selamat yang mengalami cacat fisik dan trauma mendalam. Banyak diantaranya yang mengalami gangguan psikis, Â amnesia (lupa ingatan), serta pendarahan mata dan otak. Tragedi Halloween di Itaewon juga meninggalkan duka yang serupa. Korban meninggal mencapai 153 orang dan beberapa diantaranya yang selamat mengalami trauma mendalam.
Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa kejadian serupa terus berulang? Mungkin pertanyaan itu banyak tersirat di benak publik yang mengikuti berbagai pemberitaan di media massa. Dari hasil analisis saya, berbagai tragedi yang terjadi di ruang publik menunjukkan betapa lengahnya pengawasan dari pihak keamanan setempat terhadap keberadaan massa atau kerumunan. Jumlah kerumunan yang banyak ditambah  dengan pengamanan yang minim, jumlah petugas medis untuk emergency yang kurang memadai atau bahkan tidak ada, dan SOP yang tidak dipatuhi menjadi penyebab jatuhnya banyak korban jiwa.
Akar permasalahan tragedi Kanjuruhan contohnya, disebabkan oleh pihak keamanan yang tidak mematuhi SOP dalam menjalankan tugasnya sebagai pihak penjaga ketertiban. Penggunaan gas air mata di stadion yang ditembakkan oleh 11 personel polisi dan akses ke 5 pintu keluar tribun yang tertutup menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa. Padahal, pedoman FIFA yang tertuang dalam FIFA Stadium and Safety Regulation pasal 19b melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion untuk pengendalian massa. SOP juga mengharuskan pintu tribun dibuka 5 menit sebelum pertandingan berakhir. Namun, ternyata pintu stadion tertutup dan para penjaga pintu (stewatch) tidak berada di tempat.Jumlah petugas keamanan yang minim dan tidak adanya antisipasi sistem keamanan juga menjadi salah satu faktor penyebab utama. Keberadaan petugas medis yang melayani kondisi gawat darurat juga tidak dipersiapkan dengan matang sehingga korban jiwa tidak mendapatkan penanganan kondisi gawat darurat secara cepat dan memadai.
Tragedi sepak bola di Kanjuruhan serupa dengan tragedi perayaan Halloween di Itaewon. Penonton sepak bola saling berdesakan untuk berebut turun dari tribun dan masuk ke lapangan hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa akibat terdorong, jatuh, dan terinjak-injak. Kerumunan massa yang berdesakan pada pesta Halloween di Itaewon menyebabkan pengunjung terjatuh ke tanah di jalur sempit, sementara yang lain saling mendorong untuk masuk atau meninggalkan korban yang terjatuh. Peristiwa tersebut menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Â Jumlah kerumunan yang sangat banyak tidak difasilitasi dengan jumlah petugas keamanan yang memadai. Jalan yang menjadi jalur utama juga tidak ditutup sehingga menyebabkan terbatasnya ruang gerak para pengunjung yang berjubel di jalanan pada saat berlangsungnya perayaan Halloween di Itaewon. Semestinya tragedi Kanjuruhan dan Itaewon dapat diantisipasi bila aparat keamanan untuk pengendalian masa dipersiapkan dengan matang.
Oleh karena itu, ke depannya diharapkan otoritas setempat lebih memperketat penerapan SOP untuk pengamanan kerumunan massa, melakukan edukasi mengenai mitigasi pengamanan (misal terkait langkah-langkah penyelamatan) kepada para pengunjung atau penonton, dan menyediakan tenaga medis yang memadai untuk menangani emergency.