Mohon tunggu...
Wida Puspitosari
Wida Puspitosari Mohon Tunggu... Peneliti -

Menaruh perhatian pada isu sosiologi perkotaan dan masyarakat kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Ruang Publik Jakarta yang Inklusif: Antara Tantangan dan Harapan

30 September 2015   20:28 Diperbarui: 1 Oktober 2015   07:59 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Pawai di jelujur jalanan Sudirman-Thamrin Jakarta. Sumber: Dok. Pribadi"][/caption]

Kota-kota di dunia telah dan terus berkembang pesat seiring dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai oleh manusia. Perkembangan kota tidak bisa lepas dari manusia dan pengetahuannya. Kota tidak akan berkembang jika tak ada kedua unsur tersebut. Kebutuhan pembangunan memang semakin besar dan hal itu telah dipenuhi dengan moda teknologi. Namun tanpa disadari, wilayah yang serba berteknologi itu ternyata sedang mengalami krisis yang mengancam kelangsungan hidupnya.

Selama ini kota selalu ditonjolkan dengan berbagai kelebihannya, baik fasilitas maupun kesempatan untuk memperoleh kehidupan sejahtera. Maka tidak jarang banyak orang yang terjebak dalam iklan semu yang tidak sepenuhnya menceritakan keadaan kota yang sebenarnya. Kepedulian masyarakat kota terhadap ruang publiknya pun sangatlah kurang karena mereka terbiasa dininabobokan oleh pembangunan kota yang semakin maju. Padahal di sisi lain kota sedang menjerit karena merana. Sebagai konsekuensinya, kota akan mengalami penurunan kualitas sedikit demi sedikit namun pasti. Dan hal tersebut terejawantah dalam rupa Jakarta dewasa ini. Teknologi yang sedang dijalin-kelindankan dengan skema pembangunan mau tak mau telah berdampak korup terhadap ketersediaan ruang publik di Jakarta. Sedangkan ruang publik sendiri merupakan salah satu unsur penting terhadap keberlanjutan kota dalam nalar politik, sosial, budaya maupun ekonomi. Walaupun gubernur Basuki Tjahaja Purnama beberapa tahun terakhir tengah bekerja keras menciptakan ruang publik yang terbuka bagi semua kalangan, beberapa tantangan yang nampak di pelupuk mata patut kita jadikan perhatian. Adapun tantangannya adalah sebagai berikut:

 

Tantangan Demografik: Urbanisasi dan Meningkatnya Angka Kelahiran

Direktur Eksekutif UN-HBAITAT Joan Clos i Matheu menuturkan bahwa urbanisasi merupakan tren abad ke-21, dimana pada tahun 2030, 75 persen dari 9 milyar penduduk dunia akan tinggal di kota. Ironisnya, urbanisasi pada umumnya terjadi secara masif di kota-kota yang tidak memiliki perencanaan yang layak – terutama di negara berkembang. Sejalan dengan hal itu, meningkatnya angka kelahiran juga ditandai sebagai tantangan demografik yang cukup serius. Di Jakarta sendiri peningkatan jumlah penduduk akibat urbanisasi dan natalitas menunjukkan rasio yang sangat signifikan. Data BPS tahun 2014 (bedasarkan Proyeksi Penduduk 2010-2035) menyebutkan bahwa Jakarta tengah dihuni 10,07 juta jiwa dengan angka kelahiran 7 orang per jam – serta kepadatan mencapai 15 ribu jiwa lebih setiap kilometer persegi. Lantas, apa kaitan tantangan demografik tersebut dengan ketersediaan ruang publik untuk semua? Hal ini sedikit banyak akan menegaskan pada kita bahwa logika pembangunan tanpa sadar telah menjadi faktor penarik urbanisasi dan meningkatnya angka kelahiran. Pertama, minimnya kesempatan kerja dan Upah Minimum Regional di daerah tentu akan memantik seseorang untuk mencari kesejahteraan di kota. Kedua, alibi meningkatknya angka kelahiran akan senantiasa direlasikan pada permintaan pasar tenaga kerja yang ironisnya tidak dapat dipenuhi oleh proses urbanisasi massa. Konsekuensinya, privatisasi dan pengalih-fungsian tata lahan menjadi konstruksi komersial dalam rangka menjalankan agenda pembangunan akan semakin gencar mengikis kesempatan warga Jakarta untuk menikmati haknya atas ruang publik.

Ketidakcukupan Partisipasi dan Rancangan yang Buruk

Di seluruh penjuru dunia – begitu juga di Jakarta, pembangunan digulirkan begitu saja tanpa adanya rencana pembangunan ruang publik. Tak jarang, para inisiator menciptakan ruang ‘publik’ yang justru privat – dibalik dinding masyarakat yang terjaga keamanannya, di dalam mall yang dikelilingi oleh penjaga kemanan, atau di dalam area rekreasi kelompok ekslusif. Kesemua jenis ruang ini seolah menciptakan ilusi bahwa ruang publik ada, namun sebetulnya justru memisahkan masyarakat bedasarkan kelas, gender, pendapatan juga terkadang entik dan agama.

Ruang publik terbaik ialah ruang yang menyatukan orang dari berbagai golongan. Kehadiran berbagai ragam kelompok akan menunjukkan bahwa tidak ada satu kelompokpun yang mendominasi, dimana ruang publik akan terasa lebih aman dan ramah untuk semua kalangan, termasuk perempuan dan anak muda. Ketika ruang publik tidak tersedia, tidak layak, dirancang secara buruk atau diprivatisasi, masyarakat Jakarta akan mudah untuk tersegregasi. Cara bersikap akhirnya akan didasarkan pada agama, etnisitas atau status ekonomi. Konsekuensinya bisa sangat membahayakan – dimana polarisasi kota dan gesekan sosial semakin mencuat dan mobilitas atas kesempatan ekonomi akan tertahan.

Keberadaan atau pembangunan ruang publik tidak hanya menjadi urusan perencana, perancang dan birokrat semata. Hanya dengan partisipasi publik dalam menciptakan ruang publiklah yang akan menyelaraskan dan mengindahkan keberadaannya. Tentu, membentuk kota ialah proses yang organik, bukanlah resep yang sederhana. Adat istiadat dan nilai-nilai sosio-kultural harus senantiasa dipertimbangkan dan dihormati. Biaya pemeliharaan harus pula melibatkan keterlibatan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun