Mohon tunggu...
Wida Setya Purnama
Wida Setya Purnama Mohon Tunggu... -

Im just a little fish in the ocean

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Phobialisa

20 Desember 2011   07:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:00 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_150080" align="alignleft" width="300" caption="Remaja penderita Downsyndrom"][/caption]

Langit menjadi lembayung sepi. Semburat warna gelap, terpancar ditengah awan-awan yang membiru. Se pagi tadi aku bertemu luka, se siang ini kutemui mata air airmata. Ngilu itu mencincang 9 bulan penantian, yang kuharap meledak menjadi tawa. Bukan malah beringsut menjadi lekuk-lekuk muka yang kusut. Napasnya hidup lalu kiamatlah dunia ini seketika. Dapat kubayangkan seberat apa hari esok yang dipikulkan Tuhan untuknya. Hari yang mungkin akan jauh dari rasa syukur dan akan penuh serapahan sumpah bertalu-talu. Perlahan mendoktrin otak-otak picik disekitarnya. Itulah yang mengutuknya. Dunia akan mengutuknya hingga senja.

“Isi dunia ini telah buta Lisa. Bahkan dua partikel darah yang mengalir di tubuhmu, menyimbahimu bukan dengan kalimat syukur. Langit yang biru, alunan burung yang merdu, udara yang segar dan hamparan rerumputan ini sangat nikmat, namun tidak bagimu. Kau, hanya bisa menikamati semuanya dari sudut fatamorganamu, yang kau sendiri tak mengerti. Yang emakmu, bapakmu, hingga leluhurmupun tak akan mengerti. Terlebih mereka yang menistakanmu. Mereka yang menghakimi setiap jengkal kehidupan yang harus kau lalui.”

Masih terlukis dalam jejak benakku. Saat dia harus tersungkur-sungkur untuk merangkak. Lamban, pelan sekali. Dadaku ikut sakit saat dadanya bergoresan dengan ubin yang dingin. Ketika dia tak dapat menangis kala lafadz-lafadz adzan dikumandangkan. Ketika dia tak sama cepat dengan sanak kawan seusianya untuk tumbuh. Ketika dia punya cara makan sendiri. Ketika itu pula dia ciptakan dunianya sendiri, karena dunia mengasingkannya seperti perampok. Memandangnya seperti buah kutukan dari darah yang dia warisi. Itulah dunia asusila yang sesungguhnya. Paradigma lapuk yang didogmatiskan. Hingga kepekaannya merenta, dia seperti tidak disejajarkan dengan yang lainnya. Terus, terus, dan terus dibedakan. Dipisah. Karena semua takut berantakan dan runyam karenanya.

“Kau tak sama dengan darah-darah yang lain. Darah mereka mungkin lebih segar. Aku lelah Lisa, dengan suara-suara mereka yang parau mengeluhkan tentangmu, tentang duniamu yang tak kupahami. Suara itu parau, demikian parau menjejal ditelingaku hingga panas. Sulit menjelaskan materi-materi yang menyusun tubuhmu pada orang-orang bebal. Dari yang kuncup hingga senja malah berphobia dengan dirimu. Berbagai rasa takut menyeruak dalam diriku. Aku takut kau nistakan dirimu sendiri. Aku takut kau putus asa. Aku takut kau tak mampu melawan dunia. Aku takut kau tersesat dalam pikiranmu. Satu hal besar yang membuat hatiku nyinyir, kelu, bahkan seperti diintai untuk menjadi pendosa. Ketakutan yang mengkhawatirkan. Aku takut kau menyalahkan Tuhan dan malaikat-malaikat yang menjagamu.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun