Mohon tunggu...
Wida Setya Purnama
Wida Setya Purnama Mohon Tunggu... -

Im just a little fish in the ocean

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa "Belepotan"

3 Juni 2012   02:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:27 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

“Globalisasi”, demikianlah kata pamungkas yang sering dilontarkan terkait dengan permasalahan penggerusan-penggerusan budaya bangsa. Baik dari bahasa, gaya hidup, hingga dunia seni baru-baru ini kian gencar meneriakkan “pemerkosaan” yang terjadi pada mereka. Dalam budaya berbahasa, misalnya. Telah kita ketahui bersama, bahwa fenomena alih kode hingga campur kode marak terjdi di negara kita.

Lebih konkretnya, hal itu pernah saya temui sendiri dan berkali-kali. Ada satu fenomena campur kode yang masih membekas dalam ingatan saya. Ketika saya mengikuti acara bedah buku di salah satu kampus negeri kota Malang, saya berjumpa dengan pembanding yang gaya bahasanya seperti Cinta Laura. Menariknya, beliau adalah seorang dosen. Beliau berbicara panjang lebar tentang isi buku yang dibedah dengan bahasa yang “melompat-lompat”. Dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa lalu melompat jauh ke bahasa Inggris dan kembali lagi melompat ke bahasa Indonesia. Bagi beberapa orang mungkin menganggap cara penyampaian beliau bagus dan keren, tapi bagi saya tidak. Justru kesannya “belepotan” dan sama sekali tidak intelek.

Fenomena macam itulah yang saya maksud dengan pemerkosaan bahasa. Saya tidak tahu apakah pembaca turut miris seperti saya atau malah bangga dengan hal-hal macam demikian. Saya pun menyadari bahwa tingkat intelektualitas saya jauh berada di bawah sang pembanding dalam acara itu. Bahkan melucuti cara berbahasa orang mungkin belum pantas menjadi kapasitas saya yang merupakan pembelajar bahasa tingkat awal. Namun, saya betul-betul geli dengan tingkah laku tersebut.

Saya akui, bahasa Inggris adalah bahasa dunia. Globalisasi menuntut kita untuk mau belajar bahasa asing tersebut. Akan tetapi bukan berarti kita boleh leluasa mengaduk-ngaduknya dengan bahasa ibu hingga menjadi bahasa “belepotan”. Bukankah tingkat intelektual seseorang dilihat darimana dia mampu menempatkan diri? Ketidakmauan kita untuk menempatkan dirilah yang sebetulnya membuat hal-hal semacam di atas kian semarak di negara kita sendiri. Andre Moller, salah seorang pengamat bahasa asal Swedia yang telah lama mempelajari bahasa Indonesia pun menyarankan bahwa kita perlu menyikapi fenomena demikian dengan cerdas. Yakni dengan memahami secara seksama lingkungan bahasa kita. Dalam dunia media, biasa dikatakan dengan memabaca segmentasi pasar. Segmentasi-lah yang membuat gaya bahasa Kompas dan gaya bahasa Jawa Pos berbeda. Kita perlu memahami siapa dan dimana kita berbicara sebelum melakukan proses komunikasi. Jika masih kita berbicara di lingkungan konvensional bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, mengapa kita harus memilih diksi-diksi asing yang malah belum tentu dimengerti oleh lawan komunikasi kita?

Rumput tetangga memang lebih hijau, dan dengan leluasa kita bisa mencomotnya. Comotlah dengan cara yang cerdas agar tidak jadi bomerang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun