Mohon tunggu...
Wida Setya Purnama
Wida Setya Purnama Mohon Tunggu... -

Im just a little fish in the ocean

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Keumala: Cinta dalam Jebakan Logika

30 Maret 2013   14:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:59 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Namamu Keumala.

Engkau hidup di antara terang dan gelap.

Terang memeberimu kesempatan untuk mengenal gelap.

Dan gelap memeberimu kesempatan untuk tetap bertahan dalam keindahan maknanya.

Ya, namamu Keumala.

Kau bersahabat dengan munculnya cahaya dan hilangnya cahaya.

Hadirnya matahari yang kelasa dan bulan yang begitu lembut,

Serta kesetiaan langin menemani keduanya.

Iya Langit, namaku Keumala. Aku berangkat menyongsong gelap.

Dan aku ingin tidak seorangpun akan datang.

Senja telah mempertemukan kita, dan senja pula yang akan memisahkan kita..

Jangan kirimi aku lagi Langit,

Senja-senja itu.

Jangan pula kau berkata bahwa kau akan datang.

Sebab, sendiri adalah candu.

Dan setiap candu akan berakhir pada kekosongan.

Tak ada tempat untukmu, Langit.

Jangan kau datang menyaksikan ini semua.

Di atas adalah sebuah monolog dalam film. Mendalam bukan? Filmnya berjudul Keumala. Keumala yang berarti cahaya. Seperti artinya, film ini berhubungan erat dengan cahaya. Awalnya film ini sangat membosankan. Namun, aku penasaran kenapa temanku merekomendasikannya. Di menit ke 15 cerita masih ngambang tak karuan. Sebetulnya aku sudah tak sabar. Tapi aku tetap bertahan. Dengan seksama kusaksikan seperti orang kurang kerjaan.

Keumala adalah seorang gadis di ambang kegelapan. Gadis putus ada yang hidup dalam kepalanya sendiri. membuatnya. Satu paket dengan ketakutan dan kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu terjadi. Ia prustasi. Menjauh dari hingar-bingar kehidupan dan menciptakan dunia sendiri.

Sebegitu takutnya ia pada ambang gelap itu. Bahkan ia sampai malu.Keumala terus tenggelam pada kesendirian dan tak percaya pada siapa-siapa. Saat itulah ia adalah cahaya yang ditinggalkan atau malah meninggalkan cahaya itu sendiri. Dan Keumalalah, lagi-lagi aku belajar banyak hal. Tentang cinta, hidup, dan arti kesempurnaan.

Dalam sebuah perjalanan, Keumala bertemu fotografer bernama Langit. Mereka berkelahi di atas kapal. Memperebutkan senja yang kala itu memang indah. Cerita mulai seru. Dialog mulai meruncing dan mengasah logika berpikir. Bahasanya tertata tapi berat. “Film ini diksinya selangit”, gumamku.

Cerita mulai menampakkan. Ternyata, Keumala mengidap sebuah penyakit yang menyerang retinanya. Dia terancam buta permanen. Saat itulah mentalnya hancur. Dia mengasingkan diri ke Sabang. Tujuannya sembunyi dan mencari ketenangan. Sialnya, ia telah bertemu Langit dan terlanjur jatuh cinta. Keumala yang malu dan minder karena terancam buta, meninggalkan Langit tanpa kabar. Dalam logikanya, ia takut Langit akan meninggalkannya. Ia terjebak pada logika itu sendiri. Ia tetap pergi meski hati berkata lain.

Langit tak kurang akal. Lewat anak kecil bernama Inong yang pernah dia tolong di kapal, Langit pun mengorek keterangan tentang keberadaan Keumala. Usaha itu membuahkan hasil. Langit menemukan Keumala yang tinggal di rumah kayu sederhana di tepi pantai. Gadis itu betul-betul menenggelamkan dirinya dalam perasingan. Hanya ada dua rumah di tepi pantai itu. Rumah yang dihuni Keumala dan rumah kosong di sampinya. Rumah kosong itulah yang dijadikan tempat tinggal oleh Langit selama menemani Keumala.

Langit tak ingin Keumala tahu bahwa ia ada di situ. Lalu, menyamarlah Langit sebagai orang bisu bernama Artur. Ketika itu pengelihatan Keumala sudah positif rusak. Ia telah buta. Dalam sebuah film lain yang pernah saya tonton, orang buta akan memaksimalkan kinerja indera lain untuk memahami lingkungan sekitar. Seperti indera pendengar, penciuman, pengecap, dan peraba. Keumala sangat peka terhadap suara dan aroma. Itulah alasan langit menyamar sebagai seorang bisu dan mengganti parfum.

Dalam adegan inilah, aku sangat terharu. Dapat dibayangkan bagaimana orang bisu berkomunikasi dengan orang buta. Orang buta menerima pesan lewat suara dan rabaan. Sedang lawan komunikasi Keumala saat itu adalah Artur (Langit) yang bisu. Seperti teori Darwin, manusia cenderung melakukan adaptasi untuk melawan seleksi alam. Demikian pula dengan mereka berdua. Menuliskan pesan dengan menggambar huruf-huruf di telapak tangan Keumala, itulah yang dilakukan Artur (Langit) untuk bisa berkomunikasi dengan Keumala. Tak bisa kugambarkan secara detail, tapi segmen ini sangat menyentuh. Dalam ketidaksempurnaan itu, mereka dapat saling melengkapi dan menyatau satu sama lain. Mereka saling mengerti. Mereka saling memahami. Adegan itu, mengingatkanku pada cerita seorang kawan yang pernah tinggal Jerman. Dia pernah mengikuti sebuah permainan yang mengharuskan semua pemainnya berpura-pura cacat. Katanya, komunikasi yang terjalin di antara mereka sangat sulit.

Kedekatan Artur dan Keumala membuat sisi lain dalam kisah itu merasa cemburu, tak lain adalah Langit sendiri. Cinta segitiga tersebut begitu lembut. Satu orang wanita dicintai dua orang yang sebetulnya satu. Tidakkah ini sebuah konflik yang asik? Hingga suatu hari Langit geram. Ia jujur dihadapan Keumala. Keumala pun marah besar. Ia merasa dibodohi. Berkali-kali Langit meminta maaf, namun Keumala tetap pada pendiriannya. Langit menyerah dan pulang. Sebelum pulang, di depan rumah kayu Keumala Langit berkata, “Jadi setanpun aku mau asalkan aku bisa sama kamu”. Menurutku itu adalah adegan klimaks yang menawan.

Film yang dibintangi Nadia Vega dan Abimana tersebut memberiku pelajaran yang dalam tentang kesempurnaan dan ketidaksempurnaan dalam cinta. Kesadaran kita akan ketidaksempurnaan yang kita miliki akan mengerucut pada dua tindakan. Pertama adalah menerima keadaan itu. Yang kedua adalah menyembunyikan hingga tak seorangpun dizinkan untuk tahu sisi tidak sempurna yang kita miliki. Jika manusia di dunia ini diciptakan untuk merasakan cinta, maka cinta tidak butuh keduanya. Cinta hanya butuh dua manusia dengan getaran yang sama. Kalau kata Pak Habibie, satu frekuensi. Ya, cinta sesederhana itu. Hanya kadang manusia dengan kepintaran-kepinteran, gaya, kasta, agama, harta, dan tetek bengek duniawilah yang menyamarkan kesedehanaan itu. Hingga cinta terjebak di antara nurani dan logika manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun