Banyak permasalahan seputar pelaksanaan Ujian Nasional yang selama ini dilaksanakan Kementerian Pendidikan Nasional. Beberapa hal yang dipermasalahkan adalah tentang fungsi UN sebagai penentu kelulusan dan pelaksanaannya yang penuh ketidakjujuran alias penuh kecurangan. Dua hal ini punya keterkaitan sehingga hasil UN pun perlu dipertanyakan, validkah menjadi tolok ukur keberhasilan dunia pendidikan, termasuk bagaimana membandingkan keberhasilan pendidikan di tingkat sekolah dan daerah yang berbeda.
Bagi para pelaksana di lapangan dimanapun di Indonesia saya yakin bahwa mereka paham sepaham pahamnya bahwa hasil Ujian Nasional tidaklah bisa menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan di suatu sekolah atau di suatu daerah. Mengapa?
Jawabnya hanya satu yaitu bahwa Ujian Nasional tidak dilaksanakan dengan jujur. Ketidakjujuraan ini sudah menjadi rahasia umum, saya yakin semua paham ini. Mungkin bagi orang orang di luar sekolah atau di luar dunia pendidikan akan bertanya-tanya bagaimana ketidakjujuran itu terjadi dan siapa yang salah.
Adalah salah kalau anda menyatakan bahwa yang salah adalah siswa sebagaimana yang sering kita dengar dengan slogan-slogan yang ditujukan kepada siswa agar jujur dalam menghadapi UN. Bagi saya ini sebuah lelucon. Lalu siapa yang salah?
Yang salah jelas para pelaksana di lapangan termasuk para pejabat yang berwenang di dunia pendidikan. Ketidakjujuran telah terjadi begitu massif dan sistematis. Para pejabatpun berkontribusi bahkan menjadi pendorong ketidakjujuran ini. Lalu kenapa ini bisa terjadi?
Ada beberapa alasan kenapa ketidakjujuran “terpaksa” dilakukan. Pertama tentu karena takut hasil UN di sekolah dan di daerah akan jeblok. Ini bukan sekedar fatal bagi siswa tapi juga akan membuat para pelaksana dunia pendidikan baik sekolah maupun daerah akan kehilangan muka. Jadilah lebih baik membohongi diri sendiri.
Kebijakan baru tentang UN kini sudah digulirkan oleh pemerintah baru yang punya jargon revolusi mental. Kebijakan itu ialah hasil UN tidak menjadi bahan penentu kelulusan, artinya kelulusan akan ditentukan oleh sekolah sendiri. Kebijakan ini tentu akan menganulir rasa takut akan hasil UN yang ikut menentukan kelulusan 60 % selama ini.
Meski saya tidak yakin kebijakan ini dengan sendirinya akan menghilangkan ketidakjujuran itu, namun saya rasa ini langkah tepat. Saya tidak yakin karena saya kira para pejabat dan praktisi pendidikan masih khawatir akan apa yang saya katakan di atas yaitu takut kehilangan muka.
Hal lain yang positif yang akan dilakukan pemerintah yaitu pelaksanaan UN secara online meski tahun ini baru sedikit sekolah yang menerapkan. Saya berharap UN Online mampu menutup celah untuk curang dalam pelaksanaan UN. Dan saya juga berharap ketika tidak ada lagi kecurangan dalam pelaksanaan UN, pemerintah dalam hal ini Mendiknas tidak terkejut dengan fakta tentang mutu pendidikan di Indonesia.
Sudah saatnya memang di bawah pemerintahan baru, dunia pendidikan berrrevolusi mental dengan inti utama revolusi kejujuran. Dan bukan malah re-polusi mental atau re-polusi kejujuran. Mudah-mudahan Mendiknas Anies Baswedan paham dan berani dengan revolusinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H