Mohon tunggu...
Widad Syarif
Widad Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Bermain Musik

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Efektivitas Melampaui Batas Memicu Keresahan Para Seniman

9 November 2023   12:53 Diperbarui: 9 November 2023   13:16 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak bisa dipungkiri perkembangan teknologi dari zaman ke zaman telah melampaui ekspektasi terliar manusia, dimana pada awalnya manusia bertanya-tanya bagaimana cara membuat api sampai ke titik menciptakan kecerdasan buatan sendiri atau yang biasa disebut AI (Artificial Intelegence). Meski keefektifan AI sendiri tidak perlu dipertanyakan Hal ini menjadi kekhawatiran di khalayak ramai terutama mereka yang menitih karir di bidang kesenian seluruh dunia tak terkecuali Indonesia.
Keresahan ini berasal dari salah satu fungsi AI yang bisa menduplikasi gaya lukisan dan gambar seorang seniman lalu menyelesaikannya dalam kurun waktu yang teramat pendek.
Salah seorang komikus asal Bandung Ario Anindito yang sekarang dipercaya sebagai ilustrator utama komik-komik Marvel menilai kerugian yang disebabkan oleh AI ini benar adanya
"Yang salah dari AI generator ini adalah ketika dia mengambil style dari artis-artis yang sudah ada.Jadi, artis-artis tersebut tidak pernah memberikan izin secara konsensual untuk gayanya dipakai untuk generating AI image itu yang sebenarnya merugikan. Yang seharusnya kita cari adalah cara untuk jangan sampai terjadi tindakan pencurian style atau pelanggaran hak cipta itu" Ujar komikus asal Bandung.
CEO perusahaan Visi 8 yang menaungi beberapa Intellectual Property (IP) Indonesia Raiyan Laksamana memberikan keterangan bagaimana AI bisa menduplikasi gaya lukisan para seniman
"AI ini sendiri juga bisa membuat gambar tersebut karena ditraining dengan berbagai image dari seluruh dunia. Untuk membuat hasilnya menjadi lebih sempurna, AI ini memerlukan data set yang sangat banyak sehingga banyak dari mereka mengambil image-image dari internet" "Kalau menyangkut art, mereka banyak mengambil dari misalnya art station atau beberapa artis yang memposting pekerjaannya di internet. Ada juga mungkin dari film, dari ilustrasi, dan banyak lagi," tambahnya
Keterangan yang dituturkan oleh raihan Laksamana merupakan sebuah validasi juga fakta tak terbantah atas keresahan yang dialami para seniman.
Di sisi lain AI juga merupakan sebuah peluang yang bisa dimanfaatkan kan oleh para seniman menurut sang ilustrator Marvel Ario Anindito "Sebenarnya yang seperti ini justru akan membuat karya asli seorang seniman harusnya semakin mahal dan semakin langka, karena jika misal dia membuat benar-benar pakai tangan manusia itu justru akan jadi sesuatu yang bernilai. Ibaratnya di antara 1000 karya yang dihasilkan oleh AI, satu yang benar-benar dihasilkan manusia itu akan lebih berarti". Opini ini membuka persepsi baru bagi kita para pengamat, mereka para seniman memanfaatkan maraknya penggunaan Ai untuk menaikkan harga jual yang mereka miliki dari segi "olah tangan" menciptakan peluang bagi diri mereka di tengah keresahan yang melanda, bahkan mereka justru memanfaatkan AI yang pada awalnya mengungguli mereka dari segi waktu melukis untuk mempersingkat pengolahan karya mereka sendiri.
Namun kerugian yang telah dialami oleh para seniman tak dapat dipandang sebelah mata, dapat disimpulkan dari opini para seniman tersebut dampak dari AI yang bisa mereka rasakan mulai dari hilangnya minat para pelanggan untuk menggunakan jasa yang mereka miliki, jatuhnya harga jual karena maraknya penggunaan AI, hingga hilangnya karakteristik gaya lukisan setelah duplikasi AI. Tentunya semangat dan mentalitas yang sejatinya kreatif lagi adaptif untuk menyesuaikan diri di era gempuran AI.
Pada akhirnya AI hanya sebuah alat dalam sudut pandang para seniman. tak lebih dari palu untuk memahat, kuas untuk melukis, juga pena untuk menulis. Mau seberapa banyak orang yang menggunakan AI untuk membuat "Seni" sendiri tidak membuat mereka berdiri sejajar dengan para seniman yang bercucur keringat dan darah menempa diri berfokus dalam kesenian, yang cerita hidup mereka merupakan perwujudan seni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun