Pagi, siang, dan sore hari mendung. Hujan rintik hingga sedang turun sepanjang hari. Udara dinginnya seperti di Kawasan Puncak, Bogor. Angin bertiup tiada henti. Jemuran beterbangan tertiup angin yang begitu kencang.
Dagangan di pasar dekat rumah tumpah ke jalan. Payung warna warni yang menaungi pedagang cilok, tahu goreng, cireng bertumbangan. Tenda pedagang nasi uduk, pecel lele, ketoprak porak poranda. Sudah satu minggu keadaan ini tak berubah. Inikah pertanda cuaca ekstrem?
Daun pohon pisang di belakang rumah saling bertubrukan, sebagiannya bertumbangan. Ranting pohon trembesi di sepanjang jalan patah, daunnya berserakan. Satu pohon trembesi menimpa warung makan. Di ujung jalan pohon ketapang ambruk menimpa mobil kijang.
Tiga deret rumah yang atapnya terbuat dari seng lepas beterbangan. Orang-orang belum ada yang berani ke luar rumah, mereka melihatnya dari balik jendela kaca. Inikah yang dinamakan cuaca ekstrem?
“Pah cuaca ekstrem itu apa?” Pertanyaan Devan mengagetkanku.
“Kok tumben pagi-pagi nanyain cuaca?”
“Iya pah di sosmed lagi ramai tuh orang ngomongin cuaca es krem.”
“Es krem, es krem apaan, ekstrem kali.”
“Oh iya itu, cuaca ekstrem.”
“Apa katanya?”
“Akhir bulan Desember kita diminta waspada, katanya cuaca ekstrem.”