Mohon tunggu...
Wicaksono Putro
Wicaksono Putro Mohon Tunggu... -

- a commoner, though sometimes being uncommon -

Selanjutnya

Tutup

Nature

Lebaran 1432 H Dalam Perspektif Astronomi

29 Agustus 2011   06:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:23 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada tahun ini, kembali terjadi perbedaan penentuan 1 Syawal yang menandakan akhir puasa Ramadan, di Indonesia. Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh  pada 30 Agustus 2011, sedangkan sejumlah organisasi mengindikasikan lebaran akan jatuh pada 31 Agustus 2011.

Berbagai himbauan mengajak masyarakat untuk "saling menghormati" perbedaan ini, dan tidak mempermasalahkan mana yang paling benar. Namun bagaimanapun, masyarakat masih saja dibuat bingung untuk menentukan "mana yang harus saya ikuti", mengingat sebagian besar masyarakat merupakan orang awam.

Tulisan berikut akan mencoba menjelaskan sedikit mengenai penentuan awal bulan pada sistem penanggalan Hijriah, dengan bahasa yang sederhana.

Berbeda dengan sistem penanggalan Masehi yang menggunakan peredaran bumi mengelilingi matahari sebagai acuan, sistem penanggalan Hijriah menggunakan acuan peredaran bulan mengelilingi bumi. Penentuan "hari dan tanggal" pun berbeda dari tempat ke tempat, karena sebuah "hari dan tanggal" berganti pada saat terbenamnya matahari pada tempat tersebut. Misalnya, sama-sama masuk Waktu Indonesia Barat (WIB), Surabaya akan memasuki 1 Syawal terlebih dahulu, dibanding dengan Medan yang (sekitar) satu jam kemudian. Ini karena waktu Maghrib (terbenam matahari) di Surabaya lebih awal daripada Medan.

Seperti yang kita ketahui, penampakan fase Bulan dimulai dari Bulan Baru (bulan mati), dimana bulan sama sekali tidak terlihat dari bumi. Seiring dengan waktu, kemudian bulan tampak sebagai Bulan Sabit yang tipis. Hari berganti hari, Sabit tersebut akan semakin tebal, kemudian menjadi Bulan Separuh, dan kemudian menjadi Bulan Purnama, dimana iluminasi Bulan mencapai 100%.

Setelah fase purnama, iluminasi Bulan akan berkurang, dan akan kemudian menjadi Bulan Separuh, Bulan Sabit, dan selanjutnya menjadi Bulan Baru lagi. Bulan Baru (atau Bulan Mati) terjadi karena posisi bulan dan matahari dalam satu garis edar, jadi sinar matahari yang dipantulkan bulan tidak dapat terlihat dari bumi, sehingga bulan sama sekali tidak kelihatan dari bumi (ilumiasi Bulan sebesar 0%). Posisi bulan dan matahari dalam satu garis edar tersebut dikenal dengan istilah "konjungsi" atau "ijtima'"

Penampakan Bulan Sabit pertama kali setelah konjungsi pada petang hari di ufuk barat disebut dengan "Hilal". Pada hari ke-29, biasanya dilakukan "rukyatul hilal", yakni mengamati (mengobservasi) penampakan hilal. Apabila hilal terlihat, maka pada petang hari tersebut akan masuk hari ke-1 (first day of month). Namun apabila hilal tidak terlihat, maka bulan tersebut akan digenapkan menjadi 30 hari, dan hari ke-1 dimulai esok petang.

Nabi bersabda "Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal;  jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah" (HR al-Bukhari dan Muslim).

Peredaran benda langit memang sudah menjadi hukum alam, yang dapat dilakukan perhitungan secara ilmiah. Di dalam Al Qur'an Surat Ar Rahman ayat 5, Allah berfirman, "Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan".

Dengan kemajuan teknologi sekarang ini, perhitungan posisi benda langit dapat dilakukan dengan mudah. Rumus-rumus yang rumit dapat dikerjakan dalam sekejab hanya menggunakan Excel. Bahkan, kini banyak tersedia software untuk perhitungan astronomis, yang mudah dilakukan untuk orang awam sekalipun. Dengan teknologi sekarang, perhitungan dapat dilakukan dengan presisi (ketelitian) yang amat tinggi.

Misalnya, dengan memasukkan koordinat geografis suatu lokasi (atau apabila perangkat memiliki GPS, dapat dilakukan secara otomatis hanya sekali “klik”), dapat diketahui waktu kapan terbit dan terbenam matahari, kapan terbit dan terbenam bulan, dan berapa derajat posisi arah kiblat dari tempat tersebut. Kapan terjadi bulan baru (konjungsi), bulan purnama, dan posisi bulan lainnya juga dapat dihitung dengan mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun