Pada tahun ini, kembali terjadi perbedaan penentuan 1 Syawal yang menandakan akhir puasa Ramadan, di Indonesia. Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada 30 Agustus 2011, sedangkan sejumlah organisasi mengindikasikan lebaran akan jatuh pada 31 Agustus 2011.
Berbagai himbauan mengajak masyarakat untuk "saling menghormati" perbedaan ini, dan tidak mempermasalahkan mana yang paling benar. Namun bagaimanapun, masyarakat masih saja dibuat bingung untuk menentukan "mana yang harus saya ikuti", mengingat sebagian besar masyarakat merupakan orang awam.
Tulisan berikut akan mencoba menjelaskan sedikit mengenai penentuan awal bulan pada sistem penanggalan Hijriah, dengan bahasa yang sederhana.
Berbeda dengan sistem penanggalan Masehi yang menggunakan peredaran bumi mengelilingi matahari sebagai acuan, sistem penanggalan Hijriah menggunakan acuan peredaran bulan mengelilingi bumi. Penentuan "hari dan tanggal" pun berbeda dari tempat ke tempat, karena sebuah "hari dan tanggal" berganti pada saat terbenamnya matahari pada tempat tersebut. Misalnya, sama-sama masuk Waktu Indonesia Barat (WIB), Surabaya akan memasuki 1 Syawal terlebih dahulu, dibanding dengan Medan yang (sekitar) satu jam kemudian. Ini karena waktu Maghrib (terbenam matahari) di Surabaya lebih awal daripada Medan.
Seperti yang kita ketahui, penampakan fase Bulan dimulai dari Bulan Baru (bulan mati), dimana bulan sama sekali tidak terlihat dari bumi. Seiring dengan waktu, kemudian bulan tampak sebagai Bulan Sabit yang tipis. Hari berganti hari, Sabit tersebut akan semakin tebal, kemudian menjadi Bulan Separuh, dan kemudian menjadi Bulan Purnama, dimana iluminasi Bulan mencapai 100%.
Setelah fase purnama, iluminasi Bulan akan berkurang, dan akan kemudian menjadi Bulan Separuh, Bulan Sabit, dan selanjutnya menjadi Bulan Baru lagi. Bulan Baru (atau Bulan Mati) terjadi karena posisi bulan dan matahari dalam satu garis edar, jadi sinar matahari yang dipantulkan bulan tidak dapat terlihat dari bumi, sehingga bulan sama sekali tidak kelihatan dari bumi (ilumiasi Bulan sebesar 0%). Posisi bulan dan matahari dalam satu garis edar tersebut dikenal dengan istilah "konjungsi" atau "ijtima'"
Penampakan Bulan Sabit pertama kali setelah konjungsi pada petang hari di ufuk barat disebut dengan "Hilal". Pada hari ke-29, biasanya dilakukan "rukyatul hilal", yakni mengamati (mengobservasi) penampakan hilal. Apabila hilal terlihat, maka pada petang hari tersebut akan masuk hari ke-1 (first day of month). Namun apabila hilal tidak terlihat, maka bulan tersebut akan digenapkan menjadi 30 hari, dan hari ke-1 dimulai esok petang.
Nabi bersabda "Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah" (HR al-Bukhari dan Muslim).
Peredaran benda langit memang sudah menjadi hukum alam, yang dapat dilakukan perhitungan secara ilmiah. Di dalam Al Qur'an Surat Ar Rahman ayat 5, Allah berfirman, "Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan".
Dengan kemajuan teknologi sekarang ini, perhitungan posisi benda langit dapat dilakukan dengan mudah. Rumus-rumus yang rumit dapat dikerjakan dalam sekejab hanya menggunakan Excel. Bahkan, kini banyak tersedia software untuk perhitungan astronomis, yang mudah dilakukan untuk orang awam sekalipun. Dengan teknologi sekarang, perhitungan dapat dilakukan dengan presisi (ketelitian) yang amat tinggi.
Misalnya, dengan memasukkan koordinat geografis suatu lokasi (atau apabila perangkat memiliki GPS, dapat dilakukan secara otomatis hanya sekali “klik”), dapat diketahui waktu kapan terbit dan terbenam matahari, kapan terbit dan terbenam bulan, dan berapa derajat posisi arah kiblat dari tempat tersebut. Kapan terjadi bulan baru (konjungsi), bulan purnama, dan posisi bulan lainnya juga dapat dihitung dengan mudah.
Penentuan awal bulan kamariyah dapat dilakukan dengan hisab dan rukyat. Hisab adalah menggunakan perhitungan (ilmiah). Sedangkan rukyat adalah melakukan pengamatan langsung (observasi) terhadap hilal. Kedua pendekatan tersebut saling melengkapi dan menggantikan. Misalnya, dalam pengamatan hilal (rukyatul hilal), terlebih dahulu dilakukan perhitungan di mana posisi hilal, berapa besar sudut hilal, kapan hilal dapat terlihat, dan sebagainya. Apabila hilal tidak terlihat karena tertutup awan, dapat diperkirakan dengan hisab (perhitungan).
Rukyatul hilal (pengamatan hilal) dilakukan pada petang hari setelah konjungsi (pada hari ke-29). Perlu diketahui, konjungsi dapat saja terjadi kapanpun dalam periode 24 jam. Apabila konjungsi terjadi setelah matahari terbenam, maka sudah barang tentu hilal tidak akan terlihat, dan pengamatan hilal dapat dilakukan keesokan petang harinya. Jadi, untuk dapat mengamati hilal, konjungsi harus terjadi sebelum terbenamnya matahari.
Pendekatan Hisab
Ada berbagai pendekatan dalam hisab, dan inilah yang menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan kamariyah. Dua pendekatan yang dibahas di sini adalah wujudul hilal dan imkanur rukyat (visibilitas hilal).
Menurut kriteria wujudul hilal, awal bulan kamariyah dimulai apabila pada saat terbenamnya matahari setelah terjadinya konjungsi, posisi hilal berada di atas ufuk.
Apabila berdasarkan perhitungan astronomis, terbenamnya bulan terjadi setelah terbenamnya matahari, maka pada petang hari tersebut telah memasuki tanggal 1. Dengan demikian, pendekatan wujudul hilal tidak mensyaratkan bahwa hilal harus terlihat (tanpa melibatkan pengamatan hilal secara fisik). Kriteria ini dipakai oleh ormas Muhammadiyah, dimana penentuan 1 Ramadan / 1 Syawal / 1 Dzulhijjah dapat ditentukan jauh hari sebelum Hari H.
Menurut kriteria imkanur rukyat, awal bulan kamariyah dimulai apabila pada saat terbenamnya matahari setelah terjadinya konjungsi, hilal berada di atas ufuk, sedemikian rupa yang memungkinkan untuk dapat terlihat. Kriteria ini lebih "ketat" dibanding dengan kriteria wujudul hilal, karena dengan menambahkan kriteria bahwa "hilal [harusnya] dapat terlihat".
Kapan hilal dapat terlihat? Sebagaimana diketahui, bahwa ketika terjadi konjungsi, bulan sama sekali tidak dapat diamati, bahkan dengan peralatan teleskop secanggih manapun. Karena itu, konjungsi juga disebut "lahirnya bulan" (the birth of moon). Hilal baru dapat diamati pada saat terbenamnya matahari berikutnya. Namun tidak semudah itu. Ada parameter lain yang menyebutkan "syarat hilal dapat terlihat". Nah, syarat inilah yang masih menjadi perbedaan di sejumlah kalangan. Memang ada rumus akurat yang dapat menentukan kapan terjadi konjungsi, namun belum ada rumus yang menentukan kapan hilal dapat terlihat pertama kali.
Berikut adalah beberapa kriteria berbeda yang digunakan oleh sebagian Muslim dalam penentuan awal bulan.
Pertama, adalah dengan kriteria: tinggi bulan di atas ufuk minimal 2⁰. Kriteria ini digunakan oleh ormas NU sebagai syarat minimal kesaksian rukyat.
Kedua, adalah dengan kriteria: tinggi bulan di atas ufuk minimal 2⁰, usia hilal minimal 8 jam, dan sudut elongasi minimal (jarak lengkung antara bulan dan matahari) 3⁰. Penentuan kriteria ini disepakati dalam pertemuan menter-menteri agama negara Brunei, Indonesia Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Kriteria ini juga dijadikan pertimbangan dalam Sidang Isbat penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah di Indonesia.
Ketiga, adalah dengan kriteria: tinggi bulan di atas ufuk minimal 4⁰, dan sudut elongasi minimal 6,4⁰. Penentuan sudut 6,4⁰ ini adalah berdasarkan Limit Danjon, dimana berdasarkan teori, hilal hanya mungkin bisa dirukyat jika jarak sudut Bulan dan Matahari minimal 6,4⁰. Kriteria ini diusulkan oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional).
Penentuan 1 Syawal 1432 H
Dalam penentuan 1 Syawal 1432 H, digunakan acuan bahwa konjungsi (ijtima') terjadi pada 29 Agustus 2011 pukul 3.06 UT, atau pukul 10.06 WIB, atau pukul 11.06 WITA, atau pukul 12.06 WIT.
1. Titik Pengamatan: Pelabuhan Ratu, Jawa Barat (Koordinat: 6⁰ 59' LS , 106⁰ 33' BT).
Pada lokasi tersebut, matahari terbenam pukul 17:53:37 WIB, dan bulan (hilal) terbenam pukul 18:03:30. Dengan demikian, hanya ada waktu 14 menit untuk dapat "mengamati" hilal. Pada saat matahari terbenam, usia hilal 7 jam 50 menit. Ketinggian hilal 1⁰ 50', dan sudut elongasi 6⁰ 17'.
Apabila menggunakan kriteria visibilitas hilal versi Pemerintah, syarat tersebut belum terpenuhi, karena dua syarat tidak terpenuhi, yakni usia hilal < 8 jam, ketinggian hilal < 2⁰, meskipun sudut elongasi > 3⁰. Apalagi jika menggunakan kriteria versi LAPAN, syarat tersebut tidak terpenuhi, karena tinggi hilal <4⁰ dan sudut elongasi < 6,4⁰. Kedua kriteria tersebut tidak memungkinkan hilal untuk dapat terlihat. Dengan demikian, tanggal 30 Agustus belum masuk 1 Syawal, dan masih hari ke-30 bulan Ramadan.
Lain lagi apabila menggunakan kriteria wujudul hilal (yang digunakan oleh Muhammadiyah), jelas hilal sudah berada di atas ufuk ketika matahari terbenam, sehingga meskipun hilal tidak dapat dilihat, maka tanggal 30 Agustus diputuskan masuk 1 Syawal.
2. Titik Pengamatan: Ambon, Maluku (Koordinat: 3⁰ 42' LS , 128⁰ 11' BT).
Pada lokasi tersebut, matahari terbenam pukul 18:29:16 WIB, dan bulan (hilal) terbenam pukul 18:33:27. Dengan demikian, hanya ada waktu 16 menit untuk dapat "mengamati" hilal. Pada saat matahari terbenam, usia hilal 6 jam 25 menit. Ketinggian hilal 0⁰ 51', dan sudut elongasi 5⁰ 55'.
Apabila menggunakan kriteria visibilitas hilal versi Pemerintah, syarat tersebut belum terpenuhi, karena dua syarat tidak terpenuhi, yakni usia hilal < 8 jam, ketinggian hilal < 2⁰, meskipun sudut elongasi > 3⁰. Apalagi jika menggunakan kriteria versi LAPAN, syarat tersebut tidak terpenuhi, karena tinggi hilal <4⁰ dan sudut elongasi < 6,4⁰. Kedua kriteria tersebut tidak memungkinkan hilal untuk dapat terlihat. Dengan demikian, tanggal 30 Agustus belum masuk 1 Syawal, dan masih hari ke-30 bulan Ramadan.
Lain lagi apabila menggunakan kriteria wujudul hilal (yang digunakan oleh Muhammadiyah), jelas hilal sudah berada di atas ufuk ketika matahari terbenam, sehingga meskipun hilal tidak dapat dilihat, maka tanggal 30 Agustus diputuskan masuk 1 Syawal.
Perbedaan bisa saja terjadi, maka silakan pilih dan terapkan pendapat yang menurut kita mana yang paling kuat, serta menghormati orang dengan pendapat yang berbeda. Selama pendapat tersebut memiliki dasar yang kuat, perbedaan tersebut seyogyanya dapat dimaklumi. Yang jelas, jangan sampai perbedaan ini menimbulkan perpecahan.
Salam Kompasiana.
Referensi:
1. Moonsighting.com (Moon Sighting, Dr. Monzur Ahmed)
2. rukyatulhilal.org (Rukyatul Hilal Indonesia, Mutoha Arkanuddin)
3. Perhitungan menggunakan software Mooncalc dan Stellarium
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H