Mohon tunggu...
Abrurizal Wicaksono
Abrurizal Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bebas

Suka olahraga lari, jalan kaki atau sepeda deket - deket aja..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Duka Berbaur Optimisme

29 Januari 2025   18:30 Diperbarui: 29 Januari 2025   18:30 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A Melancholic Man | Sumber : dokumen pribadi

Kabar kurang menyenangkan mungkin adalah hal yang biasa mewarnai kehidupan, terlebih bagi saya yang cenderung sudah tidak memiliki harapan besar terhadap segala hal. Mungkin inilah yang membuat saya tidak terlalu terkejut dengan apa yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir ini. Namun, meski sudah menduga, tetap saja ada duka yang menyelinap, menyisakan jejak kesedihan yang sulit diabaikan.

Huru-hara terkait pembatasan program dari pemerintah Amerika Serikat berimplikasi pada salah satu program yang sedang saya bantu. Dari tahap pertengahan, saya ditunjuk untuk mengatur secara detail agar program ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Semua skenario telah saya siapkan, rencana cadangan pun telah tertata rapi. Namun, apa daya, Tuhan tampaknya lebih peduli kepada kesehatan mental saya untuk kesekian kalinya. Sungguh, saya sudah sampai pada titik muak ketika harus kembali memulainya.

Saat ini, tawa terasa terlalu mewah bagi saya. Ada duka yang turut menyertai, rasa kehilangan yang samar namun nyata. Namun, di antara rasa pahit itu, saya menarik napas panjang, membiarkan kesadaran perlahan hadir. Saya membayangkan udara yang masuk, memenuhi paru-paru, lalu perlahan dihembuskan. Beginilah jadinya, batin saya. Hal yang sudah diduga dan mungkin memang sudah ada dalam rencana Tuhan.

Saya memang bukan sosok yang religius. Saya tidak pernah berusaha memahami kehendak-Nya lebih dalam. Namun, kejadian ini membuktikan sesuatu kepada saya: ada saat-saat tertentu di mana Tuhan ingin saya lebih dekat kepada-Nya. Berkali-kali saya mengalami hal serupa, berkali-kali pula saya dipaksa untuk berhenti sejenak, merenung, dan mencari pemahaman yang lebih luas tentang hidup. Mungkin kali ini, untuk pertama kalinya, saya benar-benar akan melibatkan Tuhan dalam penentuan rencana saya. Mungkin sudah waktunya saya tidak hanya mengandalkan intuisi semata.

Warna-warni kehidupan ini belum seberapa. Saya yakin, masih banyak lika-liku yang harus saya lalui. Saya masih mencari solusi terbaik, solusi yang tidak menyakiti siapa pun. Saya tahu, memilih diam mungkin terlihat seperti sikap egois. Namun, ini adalah cara saya menjaga keseimbangan. Ini adalah cara saya untuk tetap bermain aman di tengah gejolak yang tidak saya inginkan. Saya tidak ingin mendadak menjadi pihak yang disalahkan atas sesuatu yang sebenarnya tidak pernah saya harapkan terjadi.

Tapi, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa dunia tidak akan berhenti berputar hanya karena satu kegagalan. Saya tidak bisa terus bersembunyi dalam diam. Perlahan, saya mulai menerima kenyataan bahwa hidup memang harus terus berjalan. Tidak ada yang abadi, baik itu kebahagiaan maupun kesedihan. Semua hanya fase, yang pada akhirnya akan berlalu.

Saya akhirnya memutuskan untuk tetap melangkah. Mungkin dengan langkah yang lebih hati-hati, lebih tenang, dan lebih bijak. Tidak semua hal bisa dikendalikan, dan itu tidak apa-apa. Saya memilih untuk berdamai dengan keadaan, bukan karena saya menyerah, tetapi karena saya ingin tetap waras.

Life must go on. Tidak peduli seberapa berat beban yang ada, saya akan tetap berjalan, meski terkadang harus diam sejenak untuk mengumpulkan tenaga kembali. Saya percaya, ada pelajaran di setiap kejadian. Dan kali ini, pelajarannya adalah bahwa saya tidak boleh terlalu keras pada diri sendiri. Saya berhak untuk beristirahat, untuk merasa sedih, tetapi tidak untuk berhenti selamanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun