Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2024, dan saya harus berangkat ke kantor. Tapi apa daya, pagi ini terlambat karena semalam ada saja urusan yang membuat saya sibuk di kos-an. Membereskan ini-itu, mencuci piring yang menumpuk, menyusun ulang barang-barang yang mulai terasa semrawut --- semuanya demi menyambut tahun baru dengan suasana yang lebih rapi, meski di dalam hati tetap saja kusut. Dan ketika akhirnya pagi datang, rasa lapar mendorong saya keluar untuk mencari sarapan. Tapi apa yang terjadi? Warung-warung langganan di sekitar Depok banyak yang tutup! Tahun baru, katanya. Hasilnya? Hanya dapat ayam goreng, sama seperti semalam. Bayangkan, dua kali makan berturut-turut dengan menu yang sama. Apa ini tanda kehidupan yang mandek? Kadang ingin rasanya berteriak, tapi ya sudahlah.
Hari ini saya juga memutuskan untuk naik transportasi umum. Dimulai dari KRL, lanjut ke Jaklingko. Entah mengapa, ada kelegaan tersendiri dengan keputusan ini. Mungkin karena ingin mencoba sesuatu yang lebih ramah di kantong dan juga lingkungan. Tapi, di balik keputusan ini, ada niat yang lebih dalam: saya ingin kembali sehat di tahun 2025. Resolusi? Bisa jadi. Saya berencana mengurangi konsumsi nasi, kembali olahraga lari, jalan kaki, bahkan kalau memungkinkan, gowes sepeda lagi seperti dulu. Tapi, ya, mari kita lihat bagaimana nanti. Bicara resolusi di negara ini kadang jadi bahan tertawaan --- bukan karena kita tidak bisa, tapi karena lingkungan sering tidak mendukung.
Tahun 2025 tinggal menghitung jam demi jam. Sesampainya di kantor, suasananya sepi. Tidak ada aktivitas yang terlihat menyibukkan. Saya tahu, beberapa rekan yang masih bertahan di sini adalah mereka yang belum memperoleh cuti penuh seperti saya. Tatapan mereka kosong, seperti kehilangan harapan. Memilih menghabiskan waktu jauh dari keluarga hanya karena takut cutinya dipotong untuk alasan yang kadang absurd. Hanya di negara ini, cuti bisa menjadi perdebatan panjang antara hak dan kewajiban. Dan lihat, sebentar lagi Idul Fitri tiba --- kebutuhan akan melonjak, tabungan harus ditekan demi bisa mudik bertemu keluarga yang kadang menyebalkan juga masih dimintai uang oleh keluarga dengan dalih THR! Bah, asal kau tahu kami dapat THR saja sudah dipotong dengan opsi pajak terbaru ini masih saja kau pinta. Saya bukan mengajarkan pelit. Tapi bagaimana? Pemerintah lagi-lagi membuat rencana yang menyesakkan dada: tahun lalu saja skema pembebanan PPh 21 TER sudah menyesakkan, sekarang dengan pembebanan PPN 12%, asuransi kendaraan yang naik, pajak opsen yang membayangi, hingga harga sembako yang semakin menggila. Apa kabar, rakyat kelas menengah? Kalau ini bukan bentuk pengkhianatan terhadap mereka yang setiap hari membanting tulang, lalu apa?
Secara teori ekonomi, ini mengingatkan pada konsep beban pajak yang tidak seimbang (tax incidence). Ketika pajak dinaikkan, idealnya ada distribusi yang adil antara produsen dan konsumen. Namun, dalam kenyataan, beban ini cenderung lebih berat pada konsumen akhir, khususnya kelas menengah yang daya belinya justru tergerus. Ini sejalan dengan teori Keynesian, yang menekankan bahwa konsumsi rumah tangga adalah motor utama pertumbuhan ekonomi. Ketika daya beli menurun, roda ekonomi pun melambat. Ironisnya, kebijakan pemerintah yang semestinya pro-rakyat justru memperparah situasi ini. Dalam teori Pareto Efficiency, kondisi ideal adalah saat tidak ada pihak yang dirugikan tanpa meningkatkan kesejahteraan pihak lain. Tapi apa yang terjadi sekarang? Yang kaya makin kaya, yang miskin makin terpuruk.
Jujur, rasanya ingin memaki setiap kebijakan yang lahir tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan. Mereka yang duduk manis di kursi empuk mungkin tidak pernah tahu rasanya berdesakan di KRL pagi-pagi, menahan lapar karena uang lebih baik disimpan untuk bayar listrik, atau berjuang membayar BPJS yang sering kali lebih seperti formalitas daripada jaminan kesehatan sesungguhnya. Dan di tengah semua ini, mereka punya nyali untuk bilang, "Mari kita bangun negeri ini bersama-sama." Bangun dari mana? Kalau yang terjadi justru memeras rakyat kecil dan kelas menengah, rasanya lebih tepat disebut penghancuran sistematis.
Pilihan saya menggunakan transportasi umum adalah bentuk kecil dari perlawanan. Perlawanan terhadap kemacetan, polusi, dan pengeluaran yang tak terkendali. Naik motor atau mobil pribadi? Rasanya hanya akan menambah beban di kepala. Jalanan semakin padat, bensin semakin mahal, dan jangan lupa --- biaya perawatan kendaraan yang mencekik. Kalau pun saya akhirnya harus menggunakan kendaraan pribadi, itu pun mungkin sambil mengumpat di dalam hati, mencaci kebijakan yang tidak berpihak pada kami, kaum menengah. Sebuah ironi, ketika bekerja keras siang-malam tidak cukup untuk memastikan hidup nyaman, sementara mereka yang berkuasa terus mengeruk keuntungan atas nama pembangunan.
Mungkin ini saatnya kita mempertimbangkan kembali prinsip subsidi dan redistribusi yang adil. Dalam teori ekonomi klasik, subsidi ditujukan untuk membantu kelompok rentan. Namun, implementasi subsidi yang buruk justru menciptakan distorsi pasar. Contohnya, subsidi BBM yang selama ini digembar-gemborkan sering kali lebih banyak dinikmati oleh mereka yang memiliki kendaraan pribadi daripada masyarakat miskin yang tidak memiliki akses ke transportasi tersebut. Ini menjadi tantangan besar dalam merancang kebijakan publik yang benar-benar inklusif.
Sumpah serapah sudah sering saya tahan-tahan. Tapi kali ini, biarkan saya berkata: cukup sudah. Cukup dengan kebijakan yang seenaknya. Cukup dengan pengabaian terhadap kebutuhan rakyat. Tahun 2024 berakhir dengan getir, dan tahun 2025 menyambut dengan tantangan yang lebih berat. Jika ada harapan yang masih tersisa, itu hanya karena saya percaya bahwa kita, rakyat biasa, punya daya juang yang luar biasa. Kita tidak butuh janji manis --- kita butuh tindakan nyata. Dan sampai itu terjadi, saya akan terus melangkah, dengan atau tanpa mereka di atas sana.
Jadi, selamat tinggal 2024. Kau bukan tahun yang mudah, tapi setidaknya kau telah mengajarkan satu hal: jangan pernah berhenti berjuang, meski dunia seolah tidak berpihak. Tahun 2025, mari kita hadapi bersama --- dengan harapan, dengan tekad, dan tentu saja, dengan doa agar kebijakan yang lebih manusiawi akhirnya bisa menjadi kenyataan. Satu hal yang pasti, roda sejarah selalu berputar. Dan mungkin, hanya mungkin, suatu hari nanti kebijakan akan berpihak pada mereka yang benar-benar membutuhkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI