Biasanya, saya bukan tipe orang yang gemar mempermasalahkan perilaku generasi mana pun. Tak terkecuali generasi Z yang belakangan ini sering menjadi sorotan. Banyak sekali keluhan dari orang-orang di sekitar saya tentang sikap dan kebiasaan generasi ini, namun saya memilih untuk menutup mata. Alasannya sederhana: saya sendiri berkali-kali mendapatkan rekan kerja atau staf dari generasi Z yang baik, bertanggung jawab, dan berintegritas. Itu cukup untuk memberikan saya sudut pandang yang berbeda.
Namun, kali ini saya merasa perlu bersikap reaktif. Mungkin kesabaran saya telah mencapai batasnya. Dan sayangnya, ini bukan karena pekerjaan atau profesionalisme, tetapi karena hal-hal yang terjadi di lingkungan tempat tinggal saya. Lebih spesifik, di dapur bersama kontrakan tempat saya tinggal.
Dapur Bersama yang Berubah Menjadi Arena Kekacauan
Semua berawal dari dapur bersama yang ada di kontrakan saya. Awalnya, dapur ini menjadi salah satu alasan saya memilih tempat tinggal ini. Kontrakan ini terletak di lokasi yang modern dan strategis, dengan fasilitas yang cukup baik. Namun, kenyataan yang saya alami belakangan ini sangat jauh dari ekspektasi.
Generasi Z yang menjadi mayoritas penghuni di sini seolah tidak memiliki rasa tanggung jawab atau kepedulian terhadap lingkungan bersama. Dapur bersama berubah menjadi tempat yang kumuh dan tidak terawat. Bayangkan saja, tumpukan piring kotor yang tidak dicuci hingga berhari-hari, masakan basi yang dibiarkan membusuk di meja, puntung rokok yang berserakan di lantai, dan sampah yang tidak pernah dibuang.
Puncaknya adalah ketika saya menemukan masakan yang sudah beberapa bulan dibiarkan begitu saja, berjamur dan mengeluarkan bau busuk. Pernah ada seorang penghuni yang diperingatkan untuk lebih menjaga kebersihan, tapi bukannya berubah, dia malah kabur dari kontrakan. Yang lebih parah? Dia membawa beberapa fasilitas kos sebagai "oleh-oleh". Ironis, bukan?
Generasi Z dan Rasa Kepemilikan yang Tumpul
Rasa memiliki adalah hal yang mendasar dalam hidup bermasyarakat. Tanpa rasa memiliki, seseorang cenderung mengabaikan tanggung jawab dan menganggap segala sesuatu sebagai urusan orang lain. Dan inilah masalah utama yang saya temukan pada beberapa anak generasi Z di kontrakan ini. Mereka tidak peduli, tidak merasa bertanggung jawab, dan tampaknya tidak merasa bersalah.
Mungkin ada yang berkata, "Ah, jangan generalisasi! Tidak semua generasi Z seperti itu!" Benar, tidak semua. Saya sendiri sudah mengatakan bahwa saya pernah bekerja dengan anak-anak generasi Z yang luar biasa. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa di lingkungan ini, mayoritas penghuni dari generasi tersebut menunjukkan perilaku yang mengecewakan.
Di mana letak rasa kepedulian mereka? Apakah kebiasaan menatap layar ponsel selama berjam-jam membuat mereka lupa akan dunia nyata? Atau mungkin, konsep tanggung jawab bersama terlalu asing bagi mereka yang terbiasa hidup dalam individualisme digital?