Akhir-akhir ini, saya merasa semakin bosan dengan media sosial. Berulang kali saya mendapati diri hanya scrolling tanpa niat untuk memposting atau berbagi kabar. Bahkan, ada rasa kepuasan tersendiri dalam aktivitas lama yang lebih sederhana seperti membaca atau tertidur dengan ritme yang teratur. Seolah-olah, ada panggilan untuk kembali kepada sesuatu yang lebih mendasar dan tenang.
Mungkin saya sudah di tahap jenuh untuk aktif. Pesan di WhatsApp yang masuk sering kali saya biarkan tanpa balasan. Bukan karena saya tidak peduli, tetapi karena ada keinginan untuk menjauh dari smartphone itu sendiri. Saya merasa lebih menikmati waktu tanpa gangguan digital, dan hal ini membawa saya pada refleksi yang lebih dalam tentang ketidakacuhan yang disengaja, serta bagaimana hal tersebut sejalan dengan filosofi stoikisme.
Ketidakacuhan yang Membebaskan
Ketidakacuhan bukan berarti tidak peduli, melainkan memilih dengan bijak apa yang layak mendapatkan perhatian kita. Dalam stoikisme, ada sebuah konsep yang dikenal sebagai "dichotomy of control" atau dikotomi kendali. Filosofi ini mengajarkan bahwa ada hal-hal yang berada di luar kendali kita, seperti pendapat orang lain, peristiwa eksternal, atau bahkan suasana hati orang lain. Sebaliknya, ada hal-hal yang sepenuhnya dalam kendali kita, seperti pikiran, tindakan, dan respons kita terhadap situasi.
Ketika kita memahami perbedaan ini, kita bisa lebih tenang dan fokus pada apa yang benar-benar penting. Ketidakacuhan yang disengaja terhadap hal-hal sepele, seperti drama di media sosial atau keluhan rekan kerja, dapat menjadi langkah pertama menuju kebebasan emosional. Marcus Aurelius, seorang kaisar Romawi yang juga filsuf Stoik, pernah menulis dalam Meditations: "You have power over your mind -- not outside events. Realize this, and you will find strength."
Menjauh dari Hingar Bingar
Saya mendapati bahwa semakin bertambahnya usia, semakin besar kebutuhan saya untuk ketenangan. Ada kenikmatan tersendiri dalam momen-momen sederhana -- berkeliling kota kecil bersama istri dan anak, membaca buku favorit, atau sekadar menikmati waktu tanpa gangguan. Dalam budaya yang sering kali mendorong kita untuk selalu sibuk, menjauh dari hingar bingar adalah tindakan yang revolusioner.
Dalam bukunya Silence: In the Age of Noise, Erling Kagge menulis bahwa kesunyian adalah bentuk kebebasan. Ia mengatakan bahwa kesunyian bukan hanya tentang tidak berbicara, tetapi juga tentang melepaskan diri dari kebutuhan untuk selalu merespons dunia di sekitar kita. Dengan memeluk kesunyian, kita bisa mendengar diri kita sendiri dan menemukan apa yang benar-benar penting.
Diam bukan berarti pasif atau tidak peduli. Diam bisa menjadi bentuk protes terhadap kebisingan yang tidak perlu. Dalam dunia yang selalu berusaha menarik perhatian kita -- dengan notifikasi, iklan, dan tuntutan sosial -- diam adalah cara untuk merebut kembali kendali atas perhatian kita.
Ketika saya memilih untuk tidak merespons keluhan seorang teman tentang pekerjaannya, itu bukan karena saya tidak peduli, tetapi karena saya ingin menjaga energi saya untuk hal-hal yang lebih produktif. Dalam stoikisme, ini dikenal sebagai apatheia, yaitu keadaan ketenangan jiwa yang tercapai ketika kita tidak lagi terganggu oleh emosi negatif.