Sudah lama sekali saya tidak melakukan perjalanan jauh, apalagi menggunakan motor. Perjalanan terjauh saya sebelumnya hanyalah dari Depok ke Bogor, sekitar 35 kilometer. Jarak tersebut memang tidak terlalu ekstrem, tetapi cukup membuat tubuh saya lelah. Terutama ketika menggunakan Yamaha Aerox, rasa nyaman seakan menjadi hal yang sulit dicapai. Pinggang terasa sakit, tangan pegal, dan perjalanan terasa lebih lama dari seharusnya.
Awalnya, saya mengira ini hanya soal adaptasi, tetapi setelah beberapa kali mencoba, keluhan itu tetap muncul. Akhirnya, saya memutuskan untuk kembali ke motor lama yang sudah lama menemani petualangan saya, Suzuki Hayate. Meski usianya tidak muda lagi, Hayate ini seakan punya kekuatan magis yang membuat saya merasa lebih percaya diri.
Perjalanan kali ini cukup menantang. Tujuan saya adalah Sukabumi, sebuah kota yang memerlukan waktu sekitar dua setengah jam perjalanan dari rumah, menurut peta digital. Jalur yang harus dilalui tidaklah biasa. Ada hutan pinus yang rimbun dan jalur Puncak Dua yang sedang viral. Meskipun sebagai warga lokal, saya masih heran apa daya tarik utama jalur ini. Gelap, berliku, dan membutuhkan konsentrasi tinggi. Saya pun menyadari bahwa persiapan fisik adalah kunci penting.
Tentu saja, saya sempat merasa pesimis. Mengingat pengalaman dengan Yamaha Aerox yang jauh dari nyaman, bagaimana jika kali ini pun saya merasa kelelahan di tengah jalan? Namun, saya kembali mengingat perjalanan ke Jogja dulu. Jaraknya jauh lebih panjang, tetapi Hayate mampu melibasnya tanpa masalah. "Kalau ke Jogja bisa, masa ke Sukabumi nggak?" gumam saya, mencoba menyemangati diri.
Begitu mesin Hayate dinyalakan, kekhawatiran saya mulai memudar. Ternyata, kenyamanan yang saya harapkan benar-benar hadir. Bantingan motor ini terasa lembut, meski jalanan kadang mulus, kadang berlubang. Setiap kilometer yang saya tempuh terasa ringan. Pegal yang biasa muncul saat perjalanan jauh kini berkurang drastis. Seolah-olah Hayate tahu apa yang saya butuhkan.
Namun, ada satu tantangan lain yang tetap menghantui saya: rasa kantuk. Perjalanan yang lancar tanpa hambatan sering kali menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, Anda bisa menikmati perjalanan dengan lebih tenang. Di sisi lain, rasa kantuk mudah menyerang karena monotonitas. Saya pun harus sering berhenti untuk meregangkan badan dan, tentu saja, minum kopi.
Dari berbagai jenis kopi yang saya coba di sepanjang perjalanan, akhirnya saya menemukan yang paling cocok:Â Nescafe Ice Black. Harganya sekitar Rp7.200 per kaleng, namun efeknya luar biasa. Setiap tegukan memberikan kesegaran yang mampu membangunkan tubuh dan pikiran saya yang mulai lelah.
Kopi kaleng lain yang saya coba sebelumnya, meskipun lebih mahal, sering kali tidak memberikan efek yang sama. Bahkan, kopi Americano dari kafe ternama pun kalah dalam hal ini. Nescafe Ice Black benar-benar memberikan apa yang saya butuhkan: rasa segar, efek waspada, dan tubuh yang lebih rileks. Disclaimer: ini adalah murni pengalaman pribadi saya dan tidak ada keterlibatan sponsor dari pihak Nescafe.
Sebagai pengendara motor jarak jauh, saya sangat memahami betapa pentingnya tetap terjaga di jalan. Menurut artikel di Journal of Clinical Sleep Medicine, kafein memiliki kemampuan untuk meningkatkan performa kognitif dan mengurangi rasa kantuk. Efek ini sangat berguna dalam situasi monoton seperti perjalanan jauh. Itulah sebabnya kopi sering kali menjadi teman setia para pengendara.
Kafein bekerja dengan cara menghambat adenosin, zat kimia di otak yang bertanggung jawab atas rasa kantuk. Ketika adenosin dihambat, sistem saraf tetap terjaga dan fokus meningkat. Efek inilah yang saya rasakan selama perjalanan. Ketika tubuh mulai lelah, sekaleng Nescafe Ice Black menjadi suntikan energi yang sangat saya butuhkan.