"Pahlawan Tanpa Tanda Jasa: Antara Harapan dan Kenyataan"
"Tugas seorang pendidik adalah menyalakan api, bukan mengisi bejana." -- William Butler Yeats
"Dalam ekonomi, kita harus memahami bahwa keputusan kecil hari ini menciptakan konsekuensi besar esok hari." -- John Maynard Keynes
Disclaimer:
Tulisan ini adalah opini pribadi yang bertujuan untuk mengajak berdiskusi, bukan untuk menyerang pihak manapun. Harap dibaca dengan kepala dingin dan hati terbuka. Jika ada pandangan yang berbeda, mari berdialog dengan santun dan penuh penghormatan.
Guru, kata yang singkat, tetapi memuat makna yang begitu besar. Mereka adalah orang tua kedua di sekolah, pembimbing ilmu, penjaga moral, sekaligus pahlawan tanpa tanda jasa. Tidak ada yang meragukan bahwa tanpa guru, kita tidak akan pernah sampai pada titik ini---menulis, berbicara, bahkan berpikir kritis. Namun, ketika wacana kenaikan gaji guru honorer muncul, respons publik menjadi beragam.
Ada yang mendukung tanpa syarat, ada pula yang mengkritik dari sisi logis dan struktural. Saya pribadi termasuk kelompok kedua. Tapi sebelum Anda keburu emosi, mari kita telaah bersama dengan sudut pandang yang lebih luas.
Distribusi Guru: Ketimpangan yang Menyakitkan
Mari kita mulai dari fakta yang cukup menyakitkan: persebaran guru di Indonesia tidak merata. Di kota-kota besar, jumlah guru melimpah, bahkan bisa terjadi kelebihan tenaga pengajar. Sementara itu, di pelosok negeri, guru bagaikan harta karun---langka dan sulit ditemukan.
Contoh paling nyata bisa kita lihat di Papua atau daerah-daerah terpencil di Sumatera. Di sana, banyak sekolah yang hanya memiliki satu atau dua guru untuk mengajar semua mata pelajaran. Sementara itu, di Jawa, terutama kota besar seperti Surabaya atau Yogyakarta, guru yang melamar ke satu sekolah bisa mencapai ratusan orang.
Masalahnya di mana?
Salah satunya adalah pemetaan kebutuhan guru yang buruk. Sebelum adanya kebijakan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), penempatan guru honorer sering kali asal-asalan. Selama mereka dekat dengan domisili, sekolah cukup menganggarkan dana seadanya untuk menggaji mereka. Akibatnya, banyak sekolah yang tidak memiliki tenaga pengajar sesuai kebutuhan.
Kalau mau adil, harusnya bagaimana?
Distribusi guru harus berbasis pada kebutuhan nyata di setiap wilayah. Kalau perlu, buat insentif khusus untuk mereka yang mau mengajar di daerah terpencil. Tapi jangan cuma insentif nominal, kasih juga pelatihan berkualitas biar mereka siap menghadapi tantangan di lapangan.