Hari Minggu pagi, seperti biasanya, seharusnya saya menjadwalkan olahraga. Namun, entah kenapa motivasi untuk benar-benar serius menjaga kebugaran masih terasa jauh dari harapan. Mungkin ini efek dari pasca pemulihan kemarin.Â
Pagi itu, saya memilih untuk menjalani rutinitas sederhana di kontrakan: membersihkan kamar, menyeduh secangkir kopi, menonton televisi, dan menyimak berita terkini. Segalanya terasa damai, meski dilakukan sendiri.
Dalam keheningan itu, pikiran saya melayang pada satu fenomena menarik: semakin bertambah usia, lingkaran pertemanan kita tampaknya semakin menyusut. Menurut survei dari Social Network Research Institute, rata-rata orang dewasa kehilangan sekitar 30% dari lingkaran sosial mereka setiap lima tahun setelah usia 25 tahun. Fenomena ini tidak hanya saya alami sendiri; banyak orang mengakuinya.Â
Dulu, saya merasa mudah memiliki banyak teman dari beragam latar belakang---mulai dari komunitas fotografi, otomotif, klub diskusi, hingga olahraga. Berteman dengan orang-orang yang berbeda latar belakang selalu memberi warna tersendiri. Saya menyukai keberagaman itu; rasanya seperti menjelajahi dunia baru melalui kisah-kisah mereka.
Namun, waktu berjalan dan prioritas hidup berubah. Kini, saya mulai menyadari bahwa berteman dengan latar belakang berbeda memang tidak pernah menjadi masalah---justru itu adalah hal yang indah. Namun, ada batasan tertentu yang membuat saya lebih selektif dalam membangun hubungan. Mungkin ini berkaitan dengan energi dan waktu yang saya miliki.Â
Menjaga relasi tidak lagi semata-mata karena persahabatan, melainkan karena kebutuhan akan kehadiran orang-orang yang sefrekuensi. Saya tidak lagi melihat keseruan komunitas atau klub sebagai sesuatu yang menarik. Semua itu rasanya sudah lewat masanya.Â
Bertemu dengan banyak orang hanya untuk bersenang-senang kini terasa melelahkan, bahkan cenderung membuang waktu. Saya lebih memilih menjaga hubungan dengan orang-orang yang memberi makna lebih dalam, daripada memperluas lingkaran sosial yang cenderung dangkal.
Contoh sederhana terjadi beberapa waktu lalu ketika saya memutuskan meninggalkan beberapa grup komunitas yang dulu sangat saya sukai. Bukan karena saya tidak menghargai mereka, tetapi saya merasa sudah tidak lagi berada di frekuensi yang sama. Kini, saya lebih menghargai ketenangan dan pertemanan yang tidak menuntut banyak, namun tetap memiliki kedalaman emosional.Â
Apalagi dengan lokasi saya yang sering berpindah-pindah antara Bogor dan Depok, perjalanan ke komunitas sering terasa merepotkan. Alih-alih merasa senang, saya malah merasa tertekan dengan jadwal yang padat.
Pagi itu, tanpa sengaja saya memutuskan mematikan televisi dan keluar rumah untuk jogging di area Universitas Indonesia. Tidak terlalu ambisius, saya hanya menyelesaikan 2,5 kilometer.Â