Beberapa waktu lalu, seorang kawan yang akrab saya panggil Mas Yunan, mengirimkan gambar ayam goreng khas Jogja---sebut saja namanya Olive. Bagi yang belum pernah ke Jogja, mungkin gambar itu tak lebih dari potret hidangan biasa. Namun, bagi saya, yang mengenal kota itu dengan segala suka dukanya, gambar itu seperti mesin waktu yang membangkitkan serangkaian ingatan---membawa saya kembali ke Jogja, ke masa-masa yang mungkin sudah lama terkubur dalam kesibukan dan rutinitas hidup.
Saat melihat gambar itu, hati saya terasa seperti terhenti di tahun 2013. Kenangan akan Jogja seakan membeku pada waktu itu. Jogja yang saya kenal, Jogja yang akrab di hati, tak lagi sama setelah itu. Seolah-olah ada "time skip"---sebuah lompatan waktu yang memisahkan kenangan lama dengan kenyataan sekarang. Kenangan indah bercampur dengan luka-luka kecil, pengalaman yang menyenangkan dan pahit semua bertumpuk, membentuk sebuah kota kenangan yang hanya bisa saya capai lewat bayangan dan lamunan.
Saya pernah membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa manusia cenderung menyimpan hanya kenangan yang baik di dalam ingatan mereka. Fenomena ini disebut positivity bias---kecenderungan alami otak untuk lebih mengingat pengalaman-pengalaman positif seiring berjalannya waktu, seperti mekanisme untuk melindungi diri kita dari beban emosi yang berlebihan. Namun, tak semua ingatan buruk terhapus begitu saja. Ada peristiwa-peristiwa tertentu, terutama yang melibatkan emosi kuat, yang tetap membekas meski waktu berlalu. Seiring bertambahnya usia, ingatan buruk yang penuh emosi sering kali ikut terpatri dan tak mudah hilang. Bagi saya, Jogja adalah kota dengan warna-warna cerah dan gelap yang membekas. Masih jelas terbayang, menjelang masa KKN dulu, saat saya tiba-tiba dipanggil ke ruang dosen atas tuduhan plagiarisme. Tuduhan yang tidak pernah saya lakukan, tapi dampaknya begitu besar---saya hampir saja dikeluarkan dari kampus. Ini bukan hanya soal KKN, tapi tentang bagaimana sebuah kecerobohan kecil dalam membagi waktu kerja dan kuliah membuat saya harus menunda semester demi semester. Bayangan tugas kantor yang terbawa hingga ke ruang kuliah, dan kepercayaan yang saya berikan pada seorang teman yang justru memanfaatkan ide saya tanpa sisa. Rasanya perih, kecewa, bahkan hingga kini saya memilih menyimpan kisah itu rapat-rapat dalam diri, hanya sepotong kenangan buruk dari kota yang dulu sangat saya cintai.
Namun, Jogja bukan hanya soal kenangan indah dan pahit yang saya bawa. Bagi saya, Jogja adalah miniatur Indonesia---kota kecil yang mencerminkan keragaman bangsa ini. Di kota ini, berbagai suku, etnis, dan agama hidup berdampingan, menciptakan harmoni dalam perbedaan. Tak hanya tenggang rasa, namun juga solidaritas dan saling menghargai yang saya temukan di sini, memberi saya pemahaman yang mendalam tentang arti kebersamaan. Di Jogja, saya belajar, memahami bahwa perbedaan bukanlah tembok pemisah, tetapi justru jembatan yang menghubungkan kita.
Ada begitu banyak momen yang terasa sederhana namun penuh makna. Saya masih ingat bagaimana kami saling menghormati waktu-waktu ibadah. Teman-teman saya yang berbeda keyakinan memberi ruang bagi saya, dan sebaliknya, saya pun memberi mereka ruang yang sama. Pengalaman-pengalaman ini menegaskan bahwa kebersamaan bukan hanya soal ada di tempat yang sama, melainkan soal kehadiran dalam hidup satu sama lain, saling menghargai dan memberi dukungan. Hal ini mengingatkan saya pada kutipan Albert Schweitzer, seorang filsuf dan dokter kemanusiaan: "The purpose of human life is to serve, and to show compassion and the will to help others." Di Jogja, nilai-nilai ini bukan hanya teori yang diajarkan di ruang kelas, tapi nyata di setiap langkah dan interaksi sehari-hari.
Kebersamaan di Jogja ini juga membawa pemahaman saya pada solidaritas yang sejati, di mana kita tidak hanya peduli pada diri sendiri atau mereka yang serupa, tapi juga pada mereka yang berbeda. Solidaritas bukan berarti kita selalu sepakat dalam segalanya, tetapi lebih pada rasa saling percaya dan peduli terhadap kesejahteraan bersama. Pemikiran ini sejalan dengan filosofi dari Martin Buber, yang mengatakan bahwa dalam kehidupan manusia, hubungan antarindividu terbentuk atas dasar dialog, yang disebutnya sebagai konsep "I-Thou." Buber mengajarkan bahwa dengan menghargai orang lain sebagai "Thou" (engkau) yang sejajar dan penuh makna, kita menciptakan hubungan sejati. Di Jogja, dialog seperti ini terasa hidup, karena di sini saya belajar untuk melihat dan mendengar orang lain bukan sekadar "mereka," melainkan sebagai bagian dari "kita."
Sebenarnya, dalam hati saya menyimpan angan untuk mengabdikan diri di Jogja. Entah sebagai pegawai kampus, atau menjadi bagian kecil dari pemerintahan setempat, berbakti di kelurahan yang dekat dengan rumah. Namun, sayangnya, harapan itu hanyalah mimpi di siang bolong. Ironisnya, saya tak pernah benar-benar punya kesempatan berkarir di kampus sendiri. Alih-alih, saya justru terdampar selama tiga setengah tahun di kampus kuning---Universitas Indonesia---universitas impian saya sejak dulu, terutama di jurusan komunikasi. Kini, kembali bekerja sebagai pegawai swasta, keinginan untuk kembali ke Jogja perlahan memudar, hanya tersisa sebagai serpihan mimpi yang tak lagi punya tempat di realita.
Namun, siapa yang mengira bahwa gambar ayam goreng dari Mas Yunan ini bisa menghadirkan kembali kenangan yang lama terkubur? Satu bungkus ayam goreng itu saja sudah cukup untuk menyingkap tirai yang menyelimuti kenangan saya tentang Jogja. Seketika saya merasa kembali ke masa-masa itu, tahun 2013, seolah-olah Jogja yang saya kenal tidak pernah berubah. Bagi saya, Jogja tetap berada di tahun itu, tak pernah bergerak, tak pernah berubah. Dan mungkin, meskipun saya tak kembali lagi ke sana, nilai-nilai tentang kebersamaan, tenggang rasa, dan penghargaan yang telah saya pelajari di Jogja akan selalu tinggal dalam diri saya, sebagai bekal hidup di mana pun saya berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H