Minggu-minggu berlalu dalam hiruk-pikuk pekerjaan baru, yang ternyata sama padatnya dengan sebelumnya. Namun kali ini ada tambahan: kunjungan dinas. Kembali harus mengemas barang, merencanakan perjalanan, dan bersiap menghadapi jalan-jalan panjang yang melelahkan. Ada rasa antusias, tapi juga khawatir. Saya teringat kenangan bertugas di Sulawesi beberapa tahun lalu. Tugas kali ini membawa saya kembali ke sana.
Namun, awal persiapan saja sudah mulai rumit. Perjalanan dimulai dari Bogor, dan rencana awal saya ingin berangkat dari Depok saja, supaya lebih dekat dan praktis. Sayangnya, hati saya berkeinginan lain. Beberapa hari sebelum berangkat, anak saya mengikuti lomba mewarnai, dan saya tak ingin melewatkan kesempatan mendampinginya. Demi keluarga, saya putuskan tetap berangkat dari Bogor.
Sore itu saya menemani anak di acara lombanya, sementara dalam benak saya sudah terlintas persiapan perjalanan. Malam tiba, dan kantuk justru tak kunjung datang. Mata terus terbuka, memikirkan perjalanan tengah malam ke bandara. Jam menunjukkan pukul 12, dan saya berangkat dalam keadaan setengah mengantuk, mata merah, badan lesu. Namun, ada sebersit semangat mengingat bahwa Sulawesi, tempat penuh kenangan, sudah menunggu.
Makassar hanya persinggahan, karena tujuan utama adalah Pinrang, Enrekang, dan Toraja. Berbekal tanggung jawab untuk audit program, saya datang sebagai anggota tim terakhir. Itu artinya, saya harus berpacu dengan waktu, menyusun jadwal dan memastikan pertemuan dengan pihak-pihak penting agar audit berjalan lancar. Namun, jalannya tidak mulus. Belum apa-apa, sudah ada tantangan menanti.
Ketika beranjak ke Enrekang, saya membayangkan sejenak bisa menikmati secangkir kopi di kedai-kedai lokal. Sebagai penghasil kopi, saya kira budaya ngopi di sana akan serupa dengan Aceh yang terkenal akan kedai-kedai kopinya. Namun, kenyataan tak sesuai harapan. Di Enrekang, kedai kopi justru tutup lebih cepat dari dugaan, dan rasa kecewa muncul perlahan. Harapan menikmati kopi lokal pupus sudah; yang ada hanya kelelahan yang makin menumpuk.
Hari-hari berlalu, dan setengah perjalanan ini penuh rintangan. Setiap tempat yang dikunjungi seakan menyimpan ujiannya sendiri. Cuaca yang tak menentu, pertemuan yang molor, hingga harus mengatur ulang jadwal setiap kali ada kendala baru. Namun, tak ada pilihan selain tetap maju. Tim yang ada pun bukan tim tetap---hanya individu-individu yang kebetulan sama-sama bertugas. Tak ada waktu untuk ragu atau menyerah.
Perjalanan pulang yang tadinya diharapkan tenang, berakhir dengan kepanikan karena waktu keberangkatan pesawat semakin dekat.
Namun, di tengah segala ketidakpastian dan kesulitan, ada seberkas rasa lega ketika akhirnya menginjakkan kaki di Makassar kembali. Lima hari yang penuh lelah, perjalanan yang tak terduga, namun terselip kepuasan dalam setiap pencapaian kecil yang diraih. Sulawesi kali ini penuh dengan catatan, sebagian besar mungkin lelah dan rintangan, namun semuanya berharga.
Meski demikian, saya masih berharap suatu hari bisa kembali ke Sulawesi dalam suasana yang lebih damai, tanpa tenggat waktu, tanpa terburu-buru. Untuk kali ini, perjalanan berakhir dengan senyuman kecil---senyuman lega karena bisa pulang.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI