Mohon tunggu...
Abrurizal Wicaksono
Abrurizal Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bebas

Suka olahraga lari, jalan kaki atau sepeda deket - deket aja..

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tukang Parkir Liar

14 Oktober 2024   19:46 Diperbarui: 14 Oktober 2024   20:43 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini hujan kembali mengguyur, dimulai dari wilayah Jakarta Selatan hingga perjalanan saya berakhir di kontrakan di Depok. Biasanya, saya akan mampir sebentar ke minimarket, namun kali ini rasanya saya hanya ingin langsung pulang. Entah kenapa, saya lebih memilih segera beristirahat di kontrakan. Sebelum itu, saya berencana membeli pecel Madiun seperti yang sering saya lakukan.

Saat mulai memasuki Tanah Baru, saya membuka dompet dan terkejut mendapati isinya kurang dari Rp 30.000. Sempat terlintas di pikiran, apakah cukup untuk membeli satu porsi pecel lengkap dengan lauk-lauknya? Beruntung, setelah memilih lauk dengan hati-hati, uangnya masih cukup untuk sarapan besok pagi.

Rencana ke ATM?  
Sepertinya saya tunda dulu, apalagi hujan malam ini semakin deras.

Terkadang, ketika harus ke ATM, saya sering merasa malas jika harus menggunakan motor. Masalahnya, saya selalu bertemu dengan tukang parkir liar—mereka yang tidak memiliki izin resmi namun tetap memungut bayaran. Saya termasuk orang yang merasa enggan memberikan uang kepada mereka. Bahkan, di tempat yang sudah jelas bertuliskan "parkir gratis," mereka tetap dengan percaya diri menghalangi kendaraan pergi sebelum membayar "jasa" yang sebenarnya tidak ada.

Belakangan ini, keberadaan tukang parkir liar makin menjamur di berbagai tempat. Parahnya lagi, di lokasi-lokasi usaha kecil, kehadiran mereka justru kian meresahkan. Saya sering merasa kasihan dengan teman-teman yang sedang merintis usaha. Konsumen bisa berpaling hanya karena tahu ada tukang parkir liar di sekitar tempat usaha mereka. Bukannya membantu, keberadaan tukang parkir ini justru merugikan UMKM.

Keberadaan mereka semakin menyebalkan karena, selain tidak membantu merapikan kendaraan, mereka juga tidak bertanggung jawab jika terjadi kehilangan. Dengan angkuh mereka berujar, "Kehilangan bukan tanggung jawab kami." Lantas, apa gunanya mereka? Mereka tak lebih dari parasit—merugikan tanpa memberikan manfaat.

Beberapa kali saya berdebat dengan tukang parkir liar. Bahkan, ada yang sampai ribut hanya karena saya menolak membayar "jasanya." Baru tadi pagi, saat membuka Facebook, saya melihat komentar seseorang tentang masalah ini:

"Halah, cuma dua ribu rupiah, mainmu kok kurang jauh, pelit banget sih!"

Saya terkejut membaca komentar seperti itu. Apa hubungannya "main kurang jauh" dengan sikap pelit? Apakah orang ini sadar bahwa para tukang parkir liar itu bekerja di tempat yang ilegal? Apakah ia mau memberi nafkah keluarganya dengan uang yang diambil secara tidak sah? Bagi saya, tindakan mereka jelas haram. Di beberapa tempat sudah tertulis "gratis," tapi mereka tetap memungut uang yang bukan hak mereka. Apa itu tidak jelas haram?

Besok pagi, saya berencana lari pagi sambil menuju ATM dekat kontrakan. Dengan begitu, saya bisa mengambil uang tanpa harus berurusan dengan tukang parkir liar. Selain mendapatkan kesehatan fisik, saya juga akan mendapatkan kesehatan mental karena tidak perlu memaki-maki tukang parkir yang meresahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun