Hari Senin ini jadwal saya berubah total, semuanya berbeda dengan yang sudah saya rencanakan pada akhir pekan lalu. Pada akhir pekan kemarin, saya sudah merencanakan hari Senin ini akan berkunjung ke Jakarta untuk mengikuti interview pada pukul 11 siang. Namun rencana tersebut mendadak batal karena anak saya sakit dan akhirnya saya meminta izin melakukan penjadwalan ulang. Alhamdulillah karena saya mengabari lebih awal, saya bisa menyempatkan memeriksakan anak dan juga menemaninya seharian ini di rumah.
Dikala menemani anak yang tengah tertidur, saya teringat ada satu novel yang belum saya sentuh sampai saat ini. Novel dari Almira Bastari berjudul Home Sweet Loan nampaknya masih menunggu untuk dibaca, terakhir membaca novel dari Almira yang judulnya Resign dan sepertinya saya menduga akhirnya akan seperti yang sudah - sudah. Dan dugaan saya memang terbukti, namun bukan poin itu (romantisme) yang saya tekankan tetapi mengenai jalan cerita dari pencarian rumah yang ideal hingga beban menjadi generasi sandwich.
Memiliki rumah yang ideal untuk ditempati oleh keluarga adalah mimpi hampir semua orang, termasuk kaum pekerja Jabodetabek yang ada dalam novel tersebut. Tidak jarang kita terkecoh dengan iklan, mengaku - aku lokasi dekat dengan fasilitas umum tertentu dan nyatanya masih harus melewati beberapa terjangan di jalan. Sungguh memiliki rumah yang ideal di Jabodetabek dengan budget yang minim sangatlah susah sekali. Setidaknya itu yang juga dirasakan oleh generasi milenial hingga generasi Z. Bahkan saya yakin kedepannya generasi Alpha juga akan mengalami hal yang sama ketika mereka beranjak dewasa dan memasuki dunia kerja.
Keadaan ekonomi yang tak kunjung stabil disusul dengan kenaikan pendapatan yang tidak sebanding dengan kenaikan harga properti membuat generasi - generasi saat ini mengalami kesulitan dalam membeli rumah dalam waktu dekat ini. Saya sendiri sebagai generasi milenial turut merasakan juga sebelumnya memilih dengan alasan yang logis dengan membeli tanah di kampung, untuk pembahasannya mungkin akan saya bahas nanti. Kali ini saya akan lebih fokus kenapa selain susah memiliki rumah, generasi - generasi saat ini masih menjadi tulang punggung untuk generasi di atasnya lagi?
Saya sering gemas dengan stigma generasi di atas kami, menuding generasi dibawahnya itu adalah generasi pemboros dan tidak bakal mampu membeli rumah. Suka traveling, beli kopi hingga perasaan FOMO membuat generasi kami mudah dilabeli sebagai generasi paling boros. Sebenarnya tanpa perlu menuding begitu kita juga perlu melihat apa saja sih yang dipikirkan generasi saat ini? Dan kenapa generasi saat ini menganggap beli rumah adalah investasi jangka panjang?
Generasi milenial, generasi Z hingga kedepannya Alpha lahir ketika perkembangan teknologi berubah secara signifikan. Selama perubahan - perubahan teknologi tersebut ternyata tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang merata. Alih - alih merata, pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di kota - kota besar saja. Sedangkan generasi yang saat ini pergi merantau ke kota besar tersebut ada kalanya mereka juga tidak berhasrat untuk memiliki properti di kota tersebut. Mereka ada yang berkeinginan untuk membuka atau memulai usaha di kampung halaman mereka sendiri.Â
Lantas apakah salah dengan yang dilakukan oleh mereka?
Menurut pandangan saya pribadi, hal ini tidak salah. Dengan majunya teknologi tersebut, generasi milenial hingga generasi Z mampu menciptakan siklus ekonomi kreatif. Mereka bisa menciptakan pusat perputaran ekonomi yang baru, tak harus tumbuh di kota besar lagi. Sehingga dengan ini mereka bisa mendapatkan rumah yang ideal di tempat mereka sendiri, tak harus terbuai dengan embel - embel kota besar dengan segala fasilitasnya.
Generasi dibawah generasi boomers ini selain mampu menciptakan pusat perputaran ekonomi yang baru, mereka paham bahwa sandwich gen bisa diberhentikan. Dengan bekerja sesuai dengan potensi yang ada dan targetnya lebih besar dibandingkan yang sudah - sudah maka mereka mampu berinvestasi entah di pasar saham, reksadana hingga logam mulia atau investasi lainnya. Hal ini pada akhirnya mampu memutus mata rantai sandwich gen di generasi tersebut.
Lantas dari hal ini, siapakah yang patut khawatir?