Setiap pagi hari saya memiliki kebiasaan rutin yaitu merebus air kemudian menyiapkan secangkir kopi dan tentunya membuka beberapa halaman -- halaman di Quora atau Kompasiana. Mencari ide demi ide untuk mungkin akan dituangkan dalam bentuk tulisan atau mungkin untuk tema diskusi nanti seusai mengantarkan istri ke tempat kerja dan mampir sejenak ke warung -- warung kopi (tentunya ngopi lagi) atau apa saja yang bisa dijadikan bahasan bahkan kadang kalau tidak ada teman diskusi hanya menjadi gumaman atau draft di catatan kecil saya.
Seperti halnya pagi ini membaca artikel di Kompasiana mengenai transportasi publik di Jabodetabek yang seharusnya bisa menjadi percontohan di luar Jabodetabek, sepintas menarik sih tapi tunggu dulu Jabodetabek apakah sudah benar -- benar bagus? Coba kita cek dan kebetulan juga ini sangat relevan sekali karena saya sendiri tinggal di salah satu wilayah tersebut yaitu Kabupaten Bogor. Untuk lokasi pastinya sendiri sudah saya bahas di tulisan sebelumnya disini, jika belum membaca maka silahkan untuk dibaca maka akan ditemukan juga permasalahan bahwa transportasi publik di Jabodetabek juga belum bagus -- bagus amat. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan masing -- masing wilayah tersebut sebelum mengklaim layak jadi percontohan bagi wilayah lain.
Setiap mendapatkan beberapa proyek di Jakarta, acapkali pikiran saya langsung tertuju ke aplikasi pencari kos atau kontrakan. Selalu berusaha menyiapkan jauh -- jauh hari untuk survey dan menempati kos tersebut pada H-2 sebelum dimulai aktivitas. Kenapa saya tidak pernah memilih untuk nglajo atau pulang pergi juga mungkin akan dijelaskan lebih terperinci nantinya. Salah satu dari sekian alasan tentunya adalah jarak yang lumayan jauh.
Waktu itu saya pernah mendapatkan proyek di wilayah Jakarta Selatan, sementara waktu tempuh jika berangkat dari rumah menggunakan motor tentunya memakan waktu kurang lebih 2,5 jam atau jika macet parah 3 jam untuk berangkat saja. Praktis akan menghabiskan waktu di jalan dan capek fisik serta mental. Mencari kos adalah alternatif yang masuk akal. Menggunakan transportasi publik? Saya rasa itu adalah pilihan paling tidak masuk akal. Dari Sukamakmur menuju Jakarta Selatan harus menggunakan moda transportasi berganti -- ganti yang ternyata biayanya juga lebih mahal. Menggunakan bus beberapa kali dilanjut menggunakan angkot kemudian berganti menggunakan ojek online sudah membuat saya meringis membayangkannya.
Permasalahan transportasi publik di Sukamakmur merupakan permasalahan yang pelik sekali. Kontur wilayah yang merupakan pegunungan membuatnya juga susah untuk dilalui beberapa transportasi publik. Sering kali saya bertemu warga yang hendak ke Jonggol atau Citeureup menggunakan mobil bak terbuka ramai -- ramai. Jangankan bus umum, angkot saja hanya sampai ke Citeureup. Selebihnya untuk ke Sukamakmur bisa menggunakan mobil bak terbuka atau menggunakan ojek pangkalan. Jangan berharap ada ojek online juga disini, jadi begitu Anda tinggal disini lebih baik uninstall atau hapus saja. Hanya memenuhi memori penyimpanan smartphone Anda.
Minimnya transportasi publik serta penerangan umum itu juga terkadang menjadi dilema bagi kita orang yang berusaha taat peraturan. Memberikan kendaraan seperti motor untuk anak usia sekolah acapkali saya temui. Anak -- anak sekolah menengah pertama saja sudah fasih mengendarai motor untuk berangkat ke sekolah, kalau tidak mampu membeli motor ya paling jalan kaki biasanya ramai -- ramai dengan temannya. Jika Anda ingin berkata fafifuwasweswos mengenai kewajiban memiliki SIM untuk pengendara motor tersebut maka saran saya lupakan dulu dan tengoklah kenyataannya yang ada sekarang bahwa masih ada wilayah di Jabodetabek yang minim atau bisa dibilang tiada transportasi publik.
Transportasi publik selalu digaung -- gaungkan pemerintah untuk mengurangi kemacetan, namun nyatanya gaungan tersebut tidak diiringi dengan implementasi. Masih banyak PR yang harus dibenahi oleh pemerintah dalam menangani transportasi publik. Mungkin artikel dari Kompasiana hanya menyorot sudut wilayah tertentu saja, belum menyeluruh Jabodetabek secara keseluruhan. Mungkin saja ya, karena masih ada juga beberapa wilayah sekalipun tercover oleh transportasi publik namun jadwalnya juga belum sebanyak wilayah lainnya. Dua jam sekali atau mungkin pada waktu tertentu. Wajar jika penggunaan kendaraan pribadi makin beringas juga akhir -- akhir ini. Jika hal ini tak pernah terperhatikan oleh beberapa pemangku kebijakan maka seruan menggunakan transportasi publik ini hanya seperti halnya menegakkan sumpit yang tak berisi alias perbuatan yang sia -- sia belaka.
Referensi :
1. https://www.kompasiana.com/kompasiana/62fe77ac08a8b54b23179734/seandainya-transportasi-publik-di-luar-jabodetabek-juga-tergarap-baik (diakses pada tanggal 19 Agustus 2022)
2. https://www.kompasiana.com/wicaksonoabrurizal/62fcc66f3555e451ed168de2/77-tahun-indonesia-merdeka-dan-sukamakmur-yang-masih-jauh-dari-makmur?page=all#section1 (diakses pada tanggal 19 Agustus 2022)