Sejak 2005, festival Jazz besutan Peter F. Gontha sudah sukses membawa dunia ke Indonesia. Saat itu tercatat 1.405 artis tampil dalam 146 pertunjukan selama tiga hari, sukses mendatangkan 47.500 penonton. Saat ini pengunjung Java Jazz Festival sudah tiga kali lipatnya, dengan menampilkan 385 musisi mancanegara di perayannya yang kesepuluh, tentunya merupakan kontribusi besar bagi pemasukan pajak dan industri pariwisata Indonesia.
Secara konsep, Java Jazz dibuat oleh Peter Gontha, seorang pengusaha media kawakan yang ingin memindahkan festival jazz internasional ke Indonesia. Selama ini dirinya, dan banyak warga Asia lainnya, harus terbang ke Eropa atau Amerika untuk menikmati musik jazz bermutu. Seperti yang diungkapkan oleh Dewi Alice Lydia Gontha, Presiden Direktur Java Festival Production, “Musik Jazz itu hobi ayah saya sejak kecil, main musik juga, nonton iya juga. Ia tiap tahun selalu ke Belanda untuk nonton North Sea Jazz Festival. Dari sana ia terpikir, kenapa festival itu tidak dibawa ke sini, agar lebih banyak orang Indonesia bisa menikmatinya, sekaligus menjadikan Indonesia destinasi dunia.”
Jika mengenang kembali masa perintisannya, Dewi yang baru bergabung di Java Jazz Festival 2006 menjelaskan betapa sulitnya mendatangkan ribuan artis mancanegara ini ke Indonesia. “Karena kita ini membuat sebuah festival, bukan sekedar pertunjukan satu hari, satu panggung, dengan satu artis. Otomatis dibutuhkan biaya yang besar, kalau tidak ada dukungan penuh dari sponsor besar, tidak akan bisa jalan. Makanya kita menggaet bank, perusahaan telko, rokok, dan lain sebagainya. Tapi permasalahannya kemudian lebih ke mengorganisir jumlah artisnya. Prosesnya sih sama dengan one-off concert (konser satu hari), tapi jumlah artis yang di-handle lebih besar,” ujarnya.
Selain menampilkan artis-artis pilihan, kunci sukses Java Jazz Festival adalah dengan membuka kesempatan luas kepada artis-artis non Jazz dari dalam dan luar negeri. Seperti yang diutarakan oleh Eki Puradireja, Koordinator Program Java Jazz Festival, “Kalau kita hanya pure-Jazz, tidak akan bertahan lama, penontonnya akan itu-itu saja, artisnya juga itu-itu saja. Semua artis bisa manggung di Java Jazz Festival, tapi tentunya dengan format Jazz. Contohnya banyak artis Indonesia yang sangat ingin tampil di sini, menawarkan konsep baru, tampil berbeda, dan membawa serta penggemar setia mereka. Dari sana mereka akan mengenal Jazz itu seperti apa dan menikmatinya.”
Spesial untuk tahun ini, menangkap animo Piala Dunia yang diadakan di Brazil, Peter Gontha selaku Komisaris Java Festival Production juga menginformasikan keterlibatan beberapa musisi Brazil di acara ini. “Thiagu Gentil e Robertinho Silva, Joao Sabia, Ivan Lins, Tania Maria, dan masih banyak lagi akan tampil di Brazilian Hall. Penikmat musik Jazz Latin pastinya akan terhibur dengan penampilan mereka.”
Setelah dua tahun terakhir mendapat sponsor utama dari perusahaan rokok, tahun ini Java Jazz Festival Indonesia disponsori oleh Clear, shampoo anti ketombe. Salah satu penyebabnya adalah pemberlakuan PP 109 Tahun 2012 yang memperketat promosi produk-produk tembakau tersebut. “Kita coba mengikuti aturan, dan kebetulan Clear tertarik menjadi sponsor utama, sekaligus mempromosikan produk terbarunya (Super Fresh Apple) di acara ini,” jelas Dewi Gontha.
Dalam hal pemilihan artis, Java Festival bisa dibilang selalu sukses mendatangkan artis-artis favorit. Sebut saja James Brown dan Earth Wind & Fire (2006), Jason Mraz (2009), John Legend, Tony Braxton, dan Manhattan Transfer (2010), Santana, George Benson, dan Kenny Logins (2011), Erykah Badu, Al Jarreau, dan Stevie Wonder (2012), Joss Stone, Lisa Stansfield, Basia, dan Craig David (2013), serta Jamie Cullum dan Natalie Cole (2014). Artis-artis istimewa ini biasanya dihadirkan dalam bentuk spesial show, dan pengunjung diharuskan membeli tiket khusus untuk dapat menikmati pertunjukannya.
Karena artisnya spesial, penanganannya pun terkadang spesial. “Awalnya kita yang harus meyakinkan mereka. Karena tidak jarang mereka bertanya-tanya, penerbangannya lama sekali, dan memakan waktu berhari-hari. Mereka beralasan dengan jumlah hari yang sama mereka bisa kehilangan banyak pertunjukan di negara asalnya, makanya mereka mematok harga tinggi. Tapi kalau tarifnya sudah melebihi USD 1-2jt, tidak kita ambil. Tapi untungnya seiring dengan kebesaran nama Java Jazz Festival, sekarang sudah lebih banyak artis-artis yang menawarkan diri daripada kita yang mencari,” ujar Dewi Gontha.
“Kalau untuk rider (list permintaan), tidak ada yang terlalu aneh. Kalau sekedar meminta wine dalam jumlah tertentu, bunga segar setiap hari, tidak menjadi masalah buat kita. Yang masalah itu kalau artisnya tidak mau menginap di hotel official kita. Kalau sudah begitu kita tidak bisa memberikan penjemputan dan pengantaran spesial, karena kru kita yang terbatas, hanya 30 orang,” tambah Dewi.
Java Festival yang juga menangani Java Rockin Land dan Java Soulnation menekankan, apa yang mereka kerjakan selama ini merupakan bentuk kepedulian pada pariwisata Indonesia. “Agar seluruh dunia tahu, kalau mau nonton pertunjukan seperti ini, tidak perlu ke Jepang, atau ke negara-negara lain. Makanya sejak 2012 kita bekerjasama dengan Youtube (Google). Kita yang siapkan materinya, kota shooting dan edit layaknya stasiun tv, nanti langsung disiarkan langsung secara online, bisa disaksikan secara live di beberapa negara sekaligus. Itu yang mungkin kebanyakan orang tidak tahu. Kita tidak sekedar mengadakan acara, tapi ada proses rumit di belakangnya,” terangnya.
Jumlah pengunjung streaming live dan setelah pertunjukan ini bisa dibilang lumayan. Dalam setahun penonton dari satu video penampilan saja bisa mencapai 600.000, atau kalau dirata-rata penontonnya mencapai 1.600 per hari. Sementara Java Jazz Festival menghadirkan 350 video di Youtube dengan total penonton 8.459.537 (per 26 Februari 2014) dan itu ditonton oleh warga dunia, bisa dibayangkan eksposure yang didapat dari penyelenggaraan acara ini bagi industri pariwisata Indonesia.