Gerimis tipis membasahi aspal jalanan sore itu. Di sebuah kafe kecil dengan jendela-jendela berembun, duduklah seorang perempuan dengan secangkir kopi yang mulai dingin. Namanya Laras, matanya yang sayu menatap kosong ke arah luar, menerawang jauh menembus butiran-butiran rintik hujan.
Laras, si gadis periang yang selalu ceria, kini tampak seperti layang-layang putus. Senyumnya yang dulu seperti mentari pagi, kini tergantikan oleh guratan kesedihan. Semua berawal dari pertemuannya dengan Bara, seorang pelukis berjiwa bebas. Bara, dengan rambut gondrongnya, mampu mencuri hati Laras dalam sekejap.
Cinta mereka bersemi di antara kanvas-kanvas penuh warna dan melodi-melodi mayor petikan gitar Bara. Laras, yang terbiasa dengan dunia yang teratur dan serba terencana, menemukan kebebasan dan gairah hidup baru bersama Bara. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di studio kecil Bara, berdiskusi tentang seni, bertukar mimpi, dan saling jatuh cinta setiap harinya.
Namun, takdir seolah punya rencana lain. Bara, si seniman pujaan hati, divonis mengidap penyakit yang perlahan menggerogoti tubuhnya. Laras, yang begitu mencintai Bara, setia mendampingi dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ia rela meninggalkan pekerjaannya, mengorbankan waktu dan tenaganya, demi bisa selalu berada di sisi Bara.
Hari demi hari berlalu, kondisi Bara semakin memburuk. Laras, berusaha terlihat tegar, namun hatinya hancur berkeping-keping. Ia berdoa siang dan malam, memohon keajaiban agar Bara bisa sembuh. Namun, Tuhan berkehendak lain. Di suatu senja yang sendu, Bara menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukan Laras.
Dunia Laras runtuh seketika. Ia kehilangan belahan jiwanya, separuh dari dirinya. Hari-hari terasa hampa, sunyi, dan tak berwarna. Kenangan indah bersama Bara kini berubah menjadi pisau tajam yang mengiris hatinya.
Laras kembali ke kafe tempat mereka pertama kali bertemu. Di meja pojok yang sama, ia memesan secangkir kopi, minuman favorit Bara. Hujan masih turun, membasahi kota dengan air matanya. Laras menatap kosong ke arah luar, bayangan Bara seolah hadir di antara butiran-butiran hujan.
"Bara," bisiknya lirih, "aku merindukanmu."
Setetes air mata jatuh di pipinya, bercampur dengan air hujan di jendela. Laras memejamkan mata, membiarkan kenangan manis bersama Bara membanjiri pikirannya. Ia tahu, Bara telah pergi untuk selamanya. Namun, cintanya untuk Bara akan abadi, seindah lukisan-lukisan Bara yang tak lekang oleh waktu.
Di luar, hujan semakin deras. Seolah ikut merasakan kepedihan hati Laras, hujan itu menjadi saksi bisu sebuah kisah cinta yang berakhir tragis.