Hujan rintik-rintik di luar sana seperti sedang mengiringi lagu sendu yang tak berlirik. Di dalam kafe yang remang ini, aku dan kamu duduk berhadapan, cangkir-cangkir kopi mengepulkan asap tipis yang memburamkan pandangan. Asap itu seperti masa depan kita; samar, tak jelas, dan entah akan berujung di mana.
Kamu tahu, sejak awal kita memang seperti dua garis paralel. Berjalan beriringan, sesekali berpapasan di titik-titik tertentu, namun tak pernah benar-benar menyatu. Aku, si pemimpi yang kakinya tak menapak bumi, dan kamu, si realis yang selalu berpijak pada logika.
Ingat kan, waktu itu kita berdebat sengit tentang arti kebahagiaan? Aku, dengan segala idealismeku, ngotot bilang bahagia itu tentang mengejar mimpi, sedangkan kamu, bersikukuh bahwa bahagia itu tentang hidup mapan dan berkecukupan. Ah, perdebatan klasik yang tak pernah menemukan titik temu. Seperti kita.
"Kamu pesan kopi yang sama?" tanyamu, memecah keheningan yang menyesakkan.
Aku tersenyum kecut. "Iya. Amerikano tanpa gula. Seperti biasa."
Kamu mengangguk, lalu menyeruput kopimu. Pahit, sama seperti kenyataan yang harus kita telan sekarang.
"Jadi...?" Kamu memulai, suaramu terdengar berat.
"Jadi...?" Aku mengulang pertanyaanmu, pura-pura tak mengerti. Padahal, hati ini sudah menjerit menebak arah pembicaraan kita.
Kamu menghela napas panjang. "Kita... harus berpisah, kan?"
Akhirnya. Kata-kata itu terucap juga. Rasanya seperti puluhan jarum menghantam dadaku. Sesak. Namun, anehnya, ada sedikit rasa lega juga. Seperti beban berat yang akhirnya terlepas dari pundak.