Kita memang harus berpisah. Ini jalan terbaik. Untukmu, dan untukku. Kita terlalu berbeda. Seperti langit dan bumi. Seperti air dan minyak. Memaksakan kebersamaan hanya akan melukai kita berdua.
"Iya," jawabku lirih, hampir tak terdengar.
Hening lagi. Hanya suara hujan dan denting sendok yang beradu dengan cangkir. Kamu menatapku, tatapan yang sulit kujelaskan. Ada kesedihan, ada kekecewaan, tapi ada juga kelegaan. Sama seperti yang kurasakan.
"Aku akan selalu mengingatmu," katamu, suaramu bergetar.
Aku tersenyum, "Aku juga."
Kita menghabiskan sisa kopi dalam diam. Setiap tegukan terasa pahit, menyisakan rasa getir yang menyesakkan. Tapi, mungkin beginilah seharusnya. Perpisahan memang selalu terasa pahit. Seperti kopi tanpa gula.
Setelah cangkir-cangkir kosong, kita pun beranjak. Berjalan keluar kafe, meninggalkan kenangan yang berserakan di meja. Hujan masih turun, membasahi jalanan kota. Kita berdiri berhadapan, di bawah payung yang berbeda.
"Jaga dirimu baik-baik," katamu.
"Kamu juga," jawabku.
Lalu, kita berbalik. Berjalan menjauh, menuju arah yang berbeda. Tanpa pamit. Tanpa pelukan. Hanya dua sosok yang hilang ditelan hujan.
Malam ini, kita resmi berpisah. Dua garis paralel yang akhirnya kembali ke jalurnya masing-masing. Mungkin suatu saat nanti kita akan bertemu lagi di persimpangan jalan.Â