Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menunggumu Kembali

4 Januari 2025   23:10 Diperbarui: 4 Januari 2025   21:26 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto daun yang terkena hujan oleh Sitthan Kutty (www.pexels.com)

Aroma petrikor menyeruak masuk lewat jendela kamar yang lupa kututup. Rintik hujan mulai membasahi halaman, persis seperti hari itu, hari kepergianmu. Sudah empat tahun berlalu, tapi kenangan itu masih saja terasa segar.

Ingat kan, dulu kita suka bercanda, siapa yang paling lama menahan napas di bawah air terjun kecil dekat rumahmu? Aku cuma bisa geleng-geleng kepala sambil pura-pura kesal. Padahal, dalam hati, aku senang melihat tawamu yang lepas, seperti gemericik air yang mengalir di antara bebatuan.

Kita juga sering bertengkar, biasanya karena hal-hal sepele. Kamu yang suka lupa menaruh kunci motor, aku yang suka ngomel saat kamu pulang malam. Tapi, pertengkaran kita tak pernah bertahan lama. Selalu diakhiri dengan tawa dan pelukan hangat, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.

Lalu, datanglah hari itu. Hari yang mengubah segalanya. Kamu bilang harus pergi, mengejar mimpi di negeri seberang. Katamu, ini demi masa depan kita. Aku hanya bisa mengangguk pasrah, walaupun hatiku terasa pilu.

"Aku pasti kembali,"janjimu saat itu, sambil menggenggam erat tanganku. "Tunggu aku, ya?"

Aku mengangguk, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Kupeluk erat-erat, seolah tak ingin melepaskanmu. Wangi parfummu, masih kuingat sampai sekarang.

Empat tahun berlalu, penantianku tak kunjung usai. Kabar darimu hanya sesekali datang, lewat pesan singkat atau panggilan video yang terputus-putus. Kamu bilang sedang sibuk dengan kuliah dan pekerjaan paruh waktumu. Aku mengerti.

Tapi, rindu ini kadang tak bisa diajak kompromi. Ada kalanya, aku ingin berteriak sekeras-kerasnya, meluapkan semua rasa yang terpendam. Ingin kuteriakkan namamu di tengah hujan, biar angin menyampaikannya padamu.

Namun, aku hanya bisa bersabar menunggu. Seperti pohon rindang yang setia menanti hujan, seperti bumi yang sabar menanti mentari. Aku percaya, kamu pasti kembali. Janji itu masih terngiang di telingaku, seperti lagu yang tak pernah bosan kudengarkan.

Hari ini, hujan kembali turun. Aku duduk di teras rumah, memandangi langit yang kelabu. Tiba-tiba, ponselku berdering. Sebuah nomor asing tertera di layar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun