Kopi hitam tanpa gula di cangkirku mulai mendingin. Aroma robusta yang pekat menyeruak, berbaur dengan bau kertas koran dan tinta cetak yang khas di ruang redaksi. Jam dinding usang menunjukkan pukul dua dini hari. Deadline berita sudah lewat sejam yang lalu, tapi jemariku masih menari-nari di atas keyboard, merangkai kata demi kata untuk berita utama esok hari.
Ah, wartawan memang budak deadline. Kadang aku merasa seperti vampir, hidup di tengah malam saat orang lain sedang terlelap. Tapi, inilah passionku! Menggali informasi, mengolah data, lalu menyajikannya menjadi berita yang menarik dan informatif. Ada kepuasan tersendiri saat melihat tulisanku terpampang di halaman depan koran.
Malam itu, aku sedang meliput demonstrasi buruh yang menuntut kenaikan upah. Suasana riuh rendah. Teriakan para demonstran beradu dengan sirine polisi. Asap gas air mata membuat mataku perih. Di tengah hiruk pikuk itu, aku melihatnya. Seorang gadis kecil, mungkin berusia lima tahun, duduk sendirian di trotoar. Wajahnya polos, matanya bulat dan bening. Ia tampak ketakutan.
Entah kenapa, hatiku terenyuh melihatnya. Kuhampiri gadis kecil itu, lalu berjongkok di hadapannya.
"Hai, adik kecil. Kenapa sendirian di sini? Mana orang tuamu?" tanyaku lembut.
Gadis itu hanya diam, air matanya berlinang. Ia memeluk erat boneka usang di pangkuannya. Aku menghela napas. Anak sekecil ini seharusnya tidak berada di tengah kerumunan massa yang beringas.
"Adik lapar?" tanyaku lagi. Ia mengangguk pelan.
Kudekati penjual nasi goreng yang mangkal di dekat situ. Kubungkuskan seporsi nasi goreng plus telur dadar untuk si gadis kecil. Kulihat matanya berbinar saat kuserahkan bungkusan nasi goreng itu padanya.
"Terima kasih, Kakak," ucapnya lirih sambil tersenyum. Senyumnya manis sekali, seperti embun pagi yang menyejukkan hati.
"Sama-sama, Adik. Habiskan ya nasi gorengnya. Kalau sudah, Kakak antar pulang," kataku.