Mohon tunggu...
wibisono tegar
wibisono tegar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan hepi-hepi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pekan Budaya Dieng: Kesenian Lengger

30 April 2010   07:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:30 1456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_129986" align="aligncenter" width="300" caption="Topeng Lengger Foto:Wibisonotegar"][/caption]

Lengger merupakan salah satu kesenian tradisional khas banyumasan yang perkembangannya sudah dimulai sejak jaman jawa kuna. Lengger merupakan suatu bentuk tari-tarian yang biasanya ditarikan oleh sekelompok orang, terdiri dari pria dan wanita. Penari pria mengenakan celana selutut, ebeg, jarit sepaha, kacamata hitam, mahkota, dan sumping di telinganya, sedangkan penari wanita mengenakan jarit semata kaki, selendang, kemben dan mahkota. Ebeg sendiri adalah istilah yang digunakan untuk aksesoris yang digunakan penari, anyaman bambu untuk menggantung krincingan yang dilingkarkan di pergelangan kaki penari. Diantara penari pria, ada yang 2 penari yang memakai topeng, penthul-tembem sebutannya.

[caption id="attachment_129987" align="alignleft" width="214" caption="Dalang Foto:wibisonotegar"][/caption]

Lengger berkembang pada masa Prabu Brawijaya memerintah. Kisah yang ditarikan merupakan penggambaran kisah asmara antara Panji Asmoro Bangun dengan Dewi Sekartaji yang merupakan putri Prabu Brawijaya yang dalam tarian ini  dikisahkan melarikan diri dari istana. Prabu Brawijaya kemudian mengadakan sayembara untuk mencari sang Putri. Kata Lengger sendiri berasal dari dua kata yaitu ledek(penari) dan geger(berisik, gempar), yang dimaksudkan untuk mengundang keramaian untuk memancing Dewi Sekartaji keluar dan menyaksikan pertunjukan tersebut.

Pada awalnya tari-tarian ini ditujukan untuk mengundang keramaian. Seiring berkembangnya zaman, kesenian lengger sempat diidentikan dengan tarian yang mengundang syahwat dan sarana kemaksiatan karena penonton biasanya mabuk lalu larut dalam alunan musik, sampai kemudian agama islam berkembang pesat di Jawa dan kesenian ini dijadikan media penyebaran agama oleh Sunan Kalijaga.

[caption id="attachment_129990" align="aligncenter" width="300" caption="Ekspresi Foto:wibisonotegar"][/caption] [caption id="attachment_129991" align="alignright" width="234" caption="Penonton Kesurupan Foto:wibisonotegar"][/caption]

Diantara penari pria biasanya mengalami mendhem, istilah untuk mereka yang mengalami keadaan tidak sadar, dalam hal ini kerasukan. Tingkah laku mereka aneh-aneh, tergantung kehendak sang pawang yang menjadi “tuhan” dalam hajat ini. Sesekali mereka yang kerasukan mengambil jaran kepangnya sebagai lambang keberanian prajurit, jingkrak-jingkrak layaknya seekor kera, menangis berlebihan, hingga makan beling dan berjalan diatas bara api. Hati-hati, penonton pun bisa ikut-ikutan mendhem,”mereka(penonton) yang kerasukan, pikirannya sedang kosong atau terlalu larut dalam gendhing yang dimainkan”, ucap sang dalang santai.

Wibisono Tegar

Pekan Budaya Dieng

Agustus 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun