Oleh: Bambang Wibiono
_
Kebiasaan Vs Keharusan dalam Birokrasi
Satu hal lain mengapa korupsi di Indonesia sangat sulit diberantas, tidak lain karena praktik koruptif ini dilakukan secara terstruktur dalam birokrasi. Korupsi dilakukan berjenjang dari mulai atas sampai bawah. Sehingga kesulitan untuk mengungkap keseluruhan tindakan korupsi. Tidak jarang hanya "petugas" level bawah saja yang bisa tersentuh hukum. Atau mereka memang sengaja ditumbalkan untuk menutupi pelaku di atasnya.
Dalam birokrasi pelayanan publik kita cenderung mengedepankan "kebiasaan" ketimbang "keharusan" sesuai aturan. Ambil contoh saja mengenai pengurusan perijinan atau administrasi kependudukan. Tidak jarang waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari yang seharusnya. Ketika ditanya alasannya, akan dijawab, "biasanya begitu". Padahal jelas tertera bahwa standar pelayanan maksimal sekian hari kerja.
Belum lagi mengenai kebiasaan-kebiasaan "uang administrasi" atau uang pelicin untuk petugas-petugas administrasi pelayanan. Tanpa membayar "uang administrasi," sering kali permohonan kita tidak dilayani. Atau setidaknya, waktu pelayanan jauh lebih lama daripada yang membayar "administrasi".
Karena sadar para oknum pejabat birokrasi ini mengenai bahaya bocornya informasi atau bukti yang akan mengarah langsung pada mereka, maka secara terstruktur, kegiatan pemerasan atau pungli yang dilakukan kepada masyarakat yang memerlukan pelayanannya dilakukan melalui pegawai bawahan. Di hadapan, biasanya oknum pejabat ini bertindak sok jual mahal. Lewat bawahannya inilah, dia akan meminta penawaran dan membuka ruang negosiasi untuk harga sebuah layanan.
Praktik seperti ini bukan hal yang rahasia lagi. Sudah banyak diketahui umum. Hanya saja terkadang masyarakat merasa butuh, sehingga dengan terpaksa dan selanjutnya menjadi sebuah kewajaran untuk membayar sejumlah biaya atas layanan tersebut. Selain itu, masyarakat cenderung takut jika harus berhadapan dengan oknum dalam tubuh birokrasi ini, yang notabene adalah pejabat.
Permasalahan berikutnya mengenai mengapa masyarakat cenderung diam melihat praktik korupsi ini, karena sadar bahwa ini tindakan terstruktur. Jadi, saat dilaporkan dan terjadi penyidikan bahkan jatuh vonis, ini tidak lantas memuluskan pelayanan publik di instansi tersebut. Nyatanya, para kroni sang oknum pejabat korup masih ada di dalam lembaga itu. Ini bisa berakibat urusannya pada lembaga ini tidak dilayani dengan baik.
Jika pemohon layanan ini adalah kalangan bisnis atau berkaitan dengan kepentingan usaha, tentu saja ini akan berakibat terhambatnya bisnis mereka. Perijinan akan makin sulit, waktu bertambah tidak tentu, dan bisa saja dikemudian hari diada-adakan masalah untuk mengorek-ngorek bisnisnya.
Ada sebuah pendapat, bahwa untuk membersihkan korupsi di tubuh birokrasi, setidaknya 50% orang yang ada di institusi tersebut harus diganti. Pendapat ini sangat beralasan seperti diungkapkan di atas. Korupsi di tubuh birokrasi dilakukan secara terstruktur, dari pejabat atas hingga bawah. Terlalu banyak orang yang terlibat di dalamnya, yang mungkin selama ini juga telah ikut menikmati hasil korupsi. Hasil korupsi, pungli, dan suap menyuap dinikmati bersama. Makanya, kebiasaan lebih didahulukan daripada keharusan.
Lahirnya Korporatokrasi
Bobroknya birokrasi kita memicu ketidakpercayaan kalangan pengusaha. Birokrasi korup, secara signifikan akan menghambat bisnis karena akan memakan tenaga, waktu dan biaya yang jauh lebih besar dari seharusnya. Namun di sisi yang lain, para konglomerat atau pebisnis besar ini, melihat budaya korup di tubuh birokrasi sebagai celah untuk masuk dan menguasainya.
Dari sini muncul istilah oligark, cukong, bandit atau mafia ekonomi. Mereka ini umumnya segelintir orang kaya yang menguasai sebagian besar kekayaan negara. Bisnisnya merupakan koorporasi besar dan multinasional. Dari mereka-mereka juga pendapatan negara ini diperoleh.
Demi mengeruk keuntungan lebih besar dari negara, para cukong ini bermain di belakang layar setiap kontestasi pemimpin-pemimpin politik di Indonesia. Pemimpin politik ini yang nantinya dikendalikan dalam menciptakan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan dan melindungi bisnis para konglomerat atau oligarkh.
Mafia ekomoni ini biasanya akan bermain dua kaki. Biar bagaimanapun, kepentingan bisnislah yang menjadi kalkulasinya. Maka, akan sangat beresiko jika kekuatan ekonomi ini hanya mendukung salah satu kubu dalam pemerintahan. Jika bonekanya gagal dalam kontestasi, maka posisi bisnisnya berada di ambang kehancuran karena tentu akan menjadi bulan-bulanan bagi rejim yang berkuasa. Dengan bermain di dua kaki, siapapun yang berkuasa, para konglomerat ini tetap diuntungkan.
Perkawinan antara politik dan ekonomi ini yang kemudian melahirkan korporatokrasi, sebuah istilah yang pernah dicetuskan oleh Jhon Perkins dalam bukunya yang fenomenal, Confession of an Economic Hit Man (2004).Â
Jika Perkins mengungkapkan misi untuk membuat negara-negara berkembang ketergantungan terhadap negara adikuasa dengan cara merusak ekonomi yang akhirnya menghembuskan politik hutang sebagai jalan masuk mengkooptasi negara, maka korporatokrasi yang dilakukan para cukong ini dengan membuat ketergantungan ekonomi para aktor-aktor politik negara dan tentu saja birokrasi kepada para konglomerat dan korporasinya.
Bahkan akhir-akhir ini, gejala para cukong turun langsung dalam politik sudah terlihat. Lihat saja beberapa tokoh politik, baik pusat maupun daerah yang berasal dari pengusaha besar. Kini, mereka bukan lagi hanya bermain di belakang layar, tetapi sedikit demi sedikit terjun langsung mengendalikan ekonomi politik sekaligus.Â
Implikasinya jelas penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan korporasinya, dan tentu saja produk kebijakan yang dihasilkan akan cenderung tidak pro rakyat dengan dalih pro investasi dan dalih kemajuan ekonomi. Alih-alih memajukan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, yang terjadi malah pengerukan besar-besaran kekayaan negara dari berbagai sektor.
Lahirnya korporatokrasi ini dikhawatirkan justru menegasikan fungsi dan peran negara. Sebagaimana teori kontrak sosial yang dikemukakan Thomas Hobbes, Jhon Locke, J.J Rousseau bahwa negara dibentuk atas dasar kesepakatan warganya untuk hidup bersama dan menyerahkan kekuasaannya kepada negara dengan tujuan mengatur keseluruhan warga yang ada di dalamnya.Â
Tujuan akhir dari kontrak sosial ini tentu adalah agar tercipta keteraturan, keamanan, dan kesejahteraan. Yang menjadi permasalahan, saat negara dikuasai oleh kekuatan ekonomi politik yang berwujud korporatokrasi, ini akan memperkecil ruang bagi warga masyarakan memperoleh kesejahteraan.Â
Hal ini dikarenakan, sumberdaya ekonomi hanya dimiliki dan dimonopoli oleh hanya segelintir elit ekonomi politik dengan tujuan memperbesar kapital melalui kebijakan dan tangan-tangan birokrasinya. Rakyat hanya mampu menikmati sedikit saja dari pembangunan.
Mungkin para elit ini akan berkilah dengan alasan trickle down effect dari setiap kebijakan yang dicetuskannya. Akan ada efek rembesan atau tetesan ke bawah pada kebijakan yang diambil.Â
Mereka lupa, bahwa memang rakyat lapisan bawah hanya menerima rembesan atau tetesan sedikti saja dari kubangan besar kekayaan para oligarkh atau konglomerat kelas kakap di negeri ini. Sebagian besar keuntungan dan kekayaan akan tetap lari ke sana.Â
Distribusi sumberdaya hanya akan terjadi dari kalangan konglomerat yang satu ke yang lain, dari korporasi bisnis yang satu dengan yang lain. Tatanan masyarakat yang tercipta hanya yang kaya akan semakin kaya, yang miskin akan tetap miskin dan semakin miskin.
Dilema
Sebagai penutup tulisan ini, saya hanya akan mengajukan retorika mengenai penanganan korupsi di Indonesia. Melihat dan menghadapi jejaring korupsi yang sedemikian mengakar dan menyebar, nampaknya butuh energi ekstra memperbaikinya. Juga butuh waktu yang tidak cepat. Langkah pemberantasan dan pencegahan tidak bisa dilakukan pada satu aspek, tetapi juga perlu menyentuh aspek budaya dan mental.
Penegakan hukum dan pengusutan kasus KKN saja tidak cukup. Karena, disatu sisi hukum menyentuh para pelaku, tetapi di sisi lain, kebiasaan-kebiasaan, budaya-budaya yang telah mengakar dalam masyarakat tidak disikapi dengan baik.Â
Ibarat menghadapi padang ilalang, kita hanya sebatas memotong, menebas ilalang yang tumbuh tinggi dan subur tanpa pernah menyentuh akarnya. Sebanyak apapun kita tebas, kita berantas, selama akar, embrio, dan bibit itu masih ada dalam kehidupan kita, korupsi akan selalu punya tempat untuk tumbuh subur.
Terlebih lagi, kepercayaan kita kepada para penegak hukum kian menurun. Pihak-pihak berwajib dan berwenang yang kita percayakan, justru sering kali berkong-kalikong dengan para koruptor ini. Akibatnya, kalaupun vonis dijatuhkan, itu tidak memberikan efek jera.Â
Bahkan, para pelaku justru mendapatkan privillage seperti ruang tahanan yang istimewa, hak-hak politik yang masih bebas longgar, mendapat keringanan hukuman dan sebagainya.Â
Lantas bagaimana pelaku-pelaku ini akan jera dan tobat jika tetap mendapatkan privillage? Setelah bebas, mereka pun masih bisa mendapatkan hak-haknya secara luas. Bahkan tetap bisa mencalonkan diri menjadi anggota dewan, kepala daerah, bahkan presiden. Membuka kembali peluang untuk berlaku korup. Sedangkan rakyat kecil harus memiliki keterangan catatan kriminal bahwa tidak pernah dipidana untuk bisa mendapatkan pekerjaan, walaupun sebagai buruh. Ketidakadilan masih terjadi.
Konsep pendidikan karakter dan revolusi mental yang didengungkan, perlu dikawal serius sampai taraf aplikasi. Bagaimana penerapan pendidikan karakter dan budi pekerti dalam kurikulum pendidikan, sementara institusi pendidikan sendiri telah mengalami pembusukan di dalamnya?Â
Ini perlu menjadi perhatian. Bagaimana penanaman kebiasaan, budi pekerti dan karakter di keluarga bisa efektif sementara budaya permisif masih subur dan para orang tua kita masih banyak yang mengamini hal-hal yang bertentangan dan bahkan masih ada yang justru menjadi aktor pelaku korupsi?
Bagaimana kita berpikir mengenai negara untuk menangani jejaring korupsi sementara negara sendiri telah disusupi dan dikooptasi oleh aktor dan kepentingan-kepentingan ekonomi yang kotor? Bagaimana memberantas KKN jika produk hukum yang dihasilkan oleh perkawinan elit politik dan ekonomi kotor justru dibuat untuk menguntungkan mereka?
Meski terkesan pesimistis, tetapi masih ada harapan untuk perbaikan Indonesia ke depan. Selama sebagian dari kita memiliki visi dan tekad yang sama mengenai pemberantasan korupsi, artinya selalu akan terbuka jalan untuk diupayakan. Semoga jalan itu semakin terbuka lebar.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H