Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengintip Radikalisme di Balik Cadar

19 Juni 2020   11:05 Diperbarui: 19 Juni 2020   13:50 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu sedang hangat pembicaraan dengan topik radikalisme. Mungkin sampai saat ini topik radikalisme juga masih nge-hits. Ditambah, pesan Presiden kepada para kabinetnya soal perhatian pada isu radikalisme. Yang kemudian menjadi polemik adalah saat "radikalisme" dikaitkan dengan "perempuan bercadar" dan "laki-laki bercelana cungklang".

Tentu saja, stigma, stereotype, atau pelabelan kepada seseorang yang bercadar atau bercelana cingkrang berdekatan/erat dengan kelompok radikalis bukanlah tanpa alasan. Ini berdasarkan beberapa kasus aksi radikalis, teroris, yang nyaris selalu oknumnya menggunakan "simbol agama" demikian. Jadi sangat beralasan jika ada ketakutan sebagian kalangan masyarakat kita, bahkan beberapa pejabat pemangku kebijakan, dengan cadar dan celana cingkrang/cungklang.

Tulisan ini tidak akan membahas pada wilayah syariat, keyakinan, dalil atau dogma agama. Karena yang dikatakan syariat itu sendiri masih ada beda pandangan dikalangan ulama. Terlebih, karena memang bukan kapasitas saya berbicara soal dalil-dalil agama.

Sebelum saya berkomentar panjang soal perempuan bercadar dan radikalisme, sebaiknya membaca dulu tulisan saya sebelumnya yang berjudul "MENYINGKAP MAKNA DIBALIK JILBAB". Tulisan ini mengulas soal jilbab beserta stigma yang menyertainya dalam sejarah negeri ini. Dengan membaca tulisan saya sebelumnya itu, diharapkan bisa memahami kerangka berpikir dan sudut pandang saya terhadap simbol agama ini. Yang minat untuk membacanya, bisa cek pada tautan ini.

Generalisasi Radikalisme

Kembali pada masalah cadar dan radikalisme. Saya kurang sependapat jika radikalisme digeneralisasikan (dijadikan anggapan umum) pada simbol orang bercadar, walaupun faktanya hampir semua aksi teroris (jika radikalisme diidentikkan juga dengan terorisme), dilakukan oleh oknum yang juga bercadar dan bercelana cungklang. 

Argumen ini bisa dibantah dengan perbandingan asumsi yang sama. Misal: pelaku korupsi itu sebagian besar dilakukan oleh pejabat yang beragama Islam yang sudah disumpah di atas kitab suci, dan bahkan saat persidangan, sebagian besar tersangka/terdakwa koruptor mendadak hadir dengan busana yang erat dengan simbol Islam seperti berpeci/kopiah, baju muslim/koko/pakaian taqwa. Bisakah kita menyebut semua umat Islam, atau orang yang gemar berpeci, berpakaian muslim sebagai koruptor??

Tetapi, saya juga tidak sependapat dengan pernyataan tokoh politik dari salah satu partai Islam, beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa bercadar itu wilayah privat sehingga negara/pemerintah tidak bisa mengintervensi. Dengan perbandingan pendapat yang sama, bagaimana dengan sebagian orang yang gemar berpakaian terbuka, berbikini ditempat umum? Yang bahkan pelakunya bukan penganut Islam? Ini juga wilayah privat individu kan?  

Bukankah sebagian kelompok Islam juga mengecam keras hal ini? Bahkan negara pun mengintervensi dengan kebijakan pornografi dan pornoaksi. Di beberapa daerah, malah ada yang menuangkannya dalam aturan berupa Perda Syariah. Bahkan, untuk yang non-Islam pun dianjurkan memakai kerudung (kain penutup kepala/rambut bagi perempuan) saat berkunjung di daerah tersebut. Jelas ini bentuk intervensi lagi di ranah privat. Bukan sedang setuju dengan pornografi atau pornoaksi, hanya mengkritisi pendapatnya saja yang sangat mudah terbantah. Blunder.

Radikalisme Seperti Apa?

Persoalannya bukan pada cadar atau celana cungklang, tapi pada kemampuan aparatur negara mendefinisikan radikalisme pada diri seseorang. Mampukah negara, lewat aparatur keamanannya (Polri, TNI, BIN, Kesbangpol beserta para intelejen masing-masing lembaga dan institusi lainnya) membaca radikalisme yang masuk dan dianut oleh seseorang? Jangan-jangan kita terlalu dini menyimpulkan radikalisme hanya lewat simbol cadar. 

Atau konsep, definisi dan pemahaman radikalisme itu sendiri yang masih belum jelas, sehingga kesulitan menangkap subjek yang pada akhirnya kita masih serampangan melabeli orang dengan radikalis. Akibatnya timbul saling ejek, bullying, sinis, nyinyir, serta perdebatan tak berujung, terutama di media sosial. Sesama kita jadi bisa saling bermusuhan gara-gara tema "radikalisme".

Coba bayangkan, seandainya ternyata berjilbab lebar dan bercadar itu hanya menjadi sebatas trend fashion?? Akan ada berapa banyak orang yang akan disingkirkan hanya karena mengikuti gaya mode kekinian? Karena bukan hal yang tak mungkin jika ternyata pada akhirnya bercadar menjadi trend busana seperti halnya jilbab yang sempat beralih menjadi trend berbusana bagi para kaum hawa.

Perlu Penertiban

Apabila ketakutan akan paham radikalis ini masuk ranah aparatur negara, kemudian muncul kebijakan pelarangan bercadar di lingkungan instansi pemerintah pun sepertinya kurang bijak. Terlebih lagi, diberlakukan pada orang yang memang sudah bekerja dan berstatus ASN/PNS. Artinya, jika hukum atau aturan itu diterapkan sekarang, tidak dapat berlaku surut, atau setidaknya sulit untuk berlakubsurut. Aturan yang mungkin nanti akan dibuat hanya bisa berlaku untuk selanjutnya. 

Tetapi, kalau memang sebenarnya sudah ada aturan terkait pakaian seragam PNS/ASN/pegawai institusi pemerintah yang melarang penggunaan cadar, namun selama ini penerapannya belum ketat, bisa saja itu ditegakkan mulai saat ini dengan memberikan pengarahan, pemahaman, bahkan teguran bagi yang terlanjur mengenakannya di lingkungan kantor.

Sebaliknya, jika penertiban (bukan pelarangan) berpakaian cadar pada instansi pemerintah, sepertinya lebih cocok. Tentu perlu dengan hati-hati dan batasan-batasan yang jelas agar tidak menimbulkan permasalahan baru. Saya sepakat jika perempuan bercadar tidak menjadi petugas pelayanan garda depan di instansi pemerintah. Kenapa demikian? Ini semata-mata untuk memudahkan pelayanan sekaligus agar bisa menampilkan wajah keramahan bagi pelayan publik.

Sebuah ilustrasi

Coba bayangkan seandainya ada orang yang datang ke suatu instansi untuk meminta pelayanan pembuatan dokumen kependudukan misalnya. Kemudian diterima oleh petugas yang bercadar. Segala berkas persyaratan diserahkan kepada petugas tersebut. Keesokan harinya datang lagi untuk menagih hasil, tapi kemudian petugas yang menerima berbeda orang. 

Kemudian akan ditanya, "kemarin berkas persyaratan diserahkan ke siapa?" Orang yang ditanya ini akan bingung dan hanya bisa menyebutkan "orang yang bercadar". Dan ternyata, orang bercadar di kantor itu bukan cuma seorang, akan repot menelusurinya. Kasus keteledoran dalam hal pelayanan ini sudah lumrah di negeri kita. Akan semakin rumit jika ditambah kasus "cadar".

Dengan penertiban bercadar di instansi pemerintah, pihak yang berpegang teguh pada "paham cadar" pun sepatutnya legowo (menerima dengan lapang dada) jika ada penertiban. Beberapa pos di pemerintahan mungkin akan "dibersihkan" dari cadar. Hanya pos atau bidang/bagian tertentu saja yang memperbolehkan bercadar.

Menurut pendapat saya, jika seseorang berpegang pada keyakinan agamanya soal bercadar, sudah seharusnya menerima konsekuensi pembatasan pada ranah publik. Masih bagus, jika bercadar tetapi masih diperbolehkan di ranah publik namun dengan pembatasan wilayah tertentu ketimbang dilarang sepenuhnya. 

Karena, kalau mau konsisten dengan keyakinan tersebut (keyakinan menjalankan syariat dengan bercadar), bukankah agama lebih menganjurkan perempuan "bekerja di ranah privat"? Bahkan untuk ibadah solat berjamaah bagi perempuan pun, menurut sebagian pendapat ulama, perempuan lebih dianjurkan di rumah ketimbang solat berjamaah di masjid. Wallahu 'alam. Saya tidak akan masuk pada pembahasan ini. Para alim ulama yang mungkin bisa membahas ini dengan dalil-dalil kitab suci maupun hadits berikut asbabunuzul dan asbabul wurud-nya.

Sebagai penutup, sudah sepatutnya kita atau bahkan pemerintah bersikap bijak dan hati-hati dalam menyikapi persoalan bercadar dan radikalisme. Karena isu ini merupakan isu yang sangat sensitif akhir-akhir ini. Perlu redefinisi radikalisme itu sendiri dan juga indikasi yang jelas mengenai orang yang terpapar paham radikalis agar tidak timbul stereotype atau justifikasi terhadap simbol tertentu yang dikenakan oleh seseorang. Dengan demikian kehidupan bernegara yang berbineka ini bisa terwujud dalam harmoni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun