Atau konsep, definisi dan pemahaman radikalisme itu sendiri yang masih belum jelas, sehingga kesulitan menangkap subjek yang pada akhirnya kita masih serampangan melabeli orang dengan radikalis. Akibatnya timbul saling ejek, bullying, sinis, nyinyir, serta perdebatan tak berujung, terutama di media sosial. Sesama kita jadi bisa saling bermusuhan gara-gara tema "radikalisme".
Coba bayangkan, seandainya ternyata berjilbab lebar dan bercadar itu hanya menjadi sebatas trend fashion?? Akan ada berapa banyak orang yang akan disingkirkan hanya karena mengikuti gaya mode kekinian? Karena bukan hal yang tak mungkin jika ternyata pada akhirnya bercadar menjadi trend busana seperti halnya jilbab yang sempat beralih menjadi trend berbusana bagi para kaum hawa.
Perlu Penertiban
Apabila ketakutan akan paham radikalis ini masuk ranah aparatur negara, kemudian muncul kebijakan pelarangan bercadar di lingkungan instansi pemerintah pun sepertinya kurang bijak. Terlebih lagi, diberlakukan pada orang yang memang sudah bekerja dan berstatus ASN/PNS. Artinya, jika hukum atau aturan itu diterapkan sekarang, tidak dapat berlaku surut, atau setidaknya sulit untuk berlakubsurut. Aturan yang mungkin nanti akan dibuat hanya bisa berlaku untuk selanjutnya.Â
Tetapi, kalau memang sebenarnya sudah ada aturan terkait pakaian seragam PNS/ASN/pegawai institusi pemerintah yang melarang penggunaan cadar, namun selama ini penerapannya belum ketat, bisa saja itu ditegakkan mulai saat ini dengan memberikan pengarahan, pemahaman, bahkan teguran bagi yang terlanjur mengenakannya di lingkungan kantor.
Sebaliknya, jika penertiban (bukan pelarangan) berpakaian cadar pada instansi pemerintah, sepertinya lebih cocok. Tentu perlu dengan hati-hati dan batasan-batasan yang jelas agar tidak menimbulkan permasalahan baru. Saya sepakat jika perempuan bercadar tidak menjadi petugas pelayanan garda depan di instansi pemerintah. Kenapa demikian? Ini semata-mata untuk memudahkan pelayanan sekaligus agar bisa menampilkan wajah keramahan bagi pelayan publik.
Sebuah ilustrasi
Coba bayangkan seandainya ada orang yang datang ke suatu instansi untuk meminta pelayanan pembuatan dokumen kependudukan misalnya. Kemudian diterima oleh petugas yang bercadar. Segala berkas persyaratan diserahkan kepada petugas tersebut. Keesokan harinya datang lagi untuk menagih hasil, tapi kemudian petugas yang menerima berbeda orang.Â
Kemudian akan ditanya, "kemarin berkas persyaratan diserahkan ke siapa?" Orang yang ditanya ini akan bingung dan hanya bisa menyebutkan "orang yang bercadar". Dan ternyata, orang bercadar di kantor itu bukan cuma seorang, akan repot menelusurinya. Kasus keteledoran dalam hal pelayanan ini sudah lumrah di negeri kita. Akan semakin rumit jika ditambah kasus "cadar".
Dengan penertiban bercadar di instansi pemerintah, pihak yang berpegang teguh pada "paham cadar" pun sepatutnya legowo (menerima dengan lapang dada) jika ada penertiban. Beberapa pos di pemerintahan mungkin akan "dibersihkan" dari cadar. Hanya pos atau bidang/bagian tertentu saja yang memperbolehkan bercadar.
Menurut pendapat saya, jika seseorang berpegang pada keyakinan agamanya soal bercadar, sudah seharusnya menerima konsekuensi pembatasan pada ranah publik. Masih bagus, jika bercadar tetapi masih diperbolehkan di ranah publik namun dengan pembatasan wilayah tertentu ketimbang dilarang sepenuhnya.Â