Wreda Wibiksana No: 58
Aku merasakan kemarahannya. Dia tidak berteriak atau semacamnya tapi tatapannya mampu membuatku terasa membeku. Aku hanya dapat menatapnya tanpa mampu berbicara sepatah kata pun.
Hanya kata-katanya yang terus mengiang di pikiranku. “Kalau kamu membentur tembok, cobalah untuk memanjat tembok itu. Tidak akan ada yang berubah jika tidak dimulai dari kemauan diri sendiri.”
Aku tahu akan hal itu tapi aku merasa sedang membawa beban yang sangat berat di hati ini.
Mimpiku tidaklah tinggi-tinggi. Saya ingin diperhatikan oleh orang lain dan memiliki teman. Aku orangnya pendiam. Di sekolah pun aku hanya duduk dengan tenang di bangku dan tak punya teman untuk berbicara, terlalu malu untuk berbicara.
Sekarang ketika akhirnya ada yang menyapaku, memperhatikanku, aku diam membisu. Tetap membuat tembok penghalang dengan orang-orang disekelilingku.
Pandangannya yang sedari tadi terasa menusuk hati kini melembut. “Dimas, langkah pertama memang berat tapi aku yakin kamu bisa melakukannya,” kata Meiko dengan senyuman manis bak bidadari.
Entah kenapa mata ini terasa panas. Air mengalir deras dari mataku. Baru kali ini aku merasa diperhatikan, dipercaya, dan kuharap awal dari pertemanan. Aku pun mengangguk pelan.
“Nah, untuk langkah pertama tolong gantikan aku di lomba pidato bahasa Inggris. Kamu kan pintar bahasa Inggrisnya,” pinta Meiko sambil mengatupkan kedua tangannya.
Mendengar itu perut terasa melilit, mata berkunang-kunang, keringat dingin mengucur deras. Demam panggung pertamaku.
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community( link : https://www.facebook.com/groups/175201439229892/ )