Wreda Wibiksana No. 86
Tengah malam. Saat itu suhu di sekitar perkemahan Ranca Upas terasa dingin menggigit sampai ke tulang. Terlihat sesosok bayangan keluar dari kemah yang tidak lama kemudian diikuti oleh satu sosok lagi. Dengan bersenjatakan sebuah senter mereka mengendap-endap menembus pekatnya kabut menuju ke hutan.
Setelah agak jauh dari bumi perkemahan tiba-tiba Fahmi menghentikan langkahnya. Dengan sigap ia merogoh saku celananya tuk mengambil pisau lipat andalannya. Dari balik semak muncul seorang pria tambun tampak terengah-engah. Mereka saling berhadapan dengan wajah yang serius.
"Apa kamu yakin mau melakukan hal ini?" tanya pria gemuk yang nampaknya mulai ragu dengan rencana Fahmi.
"Mo, tekadku sudah bulat. Semua ini kulakukan demi menunjukkan kesungguhan cintaku pada Putri," jawab Fahmi mantap kemudian membelakangi temannya, Bimo.
Dengan sekali sabetan dari pisau lipat yang sudah diasah tajam, cairan kemerahan membasahi tempat Fahmi berpijak. Terdengar suara terjatuh di bawah pohon besar. Raut wajah Bimo menunjukkan rasa horor sebelum memalingkan wajahnya dari peristiwa yang berlangsung dihadapannya.
****
Pagi harinya, di wilayah perkemahan tampak rombongan dimana Fahmi dan Bimo tergabung sedang ramai mencari kedua aggotanya yang menghilang. Semuanya tampak khawatir terutama Putri karena orang yang disayanginya itu menghilang tanpa ada kejelasan. Bahkan putri ingin menghubungi tim SAR untuk mencari mereka.
Namun sebelum niat itu terlaksana, dari arah hutan terlihat Bimo sedang lari tergopoh-gopoh. Putri memicingkan matanya mencari sosok Fahmi yang tetap tak terlihat batang hidungnya.
"Bimo kenapa kamu sendirian? Dimana Fahmi?" tanya ketua rombongan yang bernama Anton.
Bimo hanya tertunduk lesu kemudian berjalan gontai menuju Putri.
"Put, saya... Fahmi berpesan pada saya bahwa dia ingin minta maaf padamu." Bimo mengeluarkan sebuah bandana yang berlumuran darah dari kantung jeansnya dan menyerahkannya pada Putri.
Putri tertegun ketika menerima bandana yang pernah ia hadiahkan pada Fahmi itu berlumuran darah. Matanya memerah dan setitik air mata mulai membasahi pipinya.
"Jadi Fahmi sudah..." suara Putri serak tak mampu berkata-kata.
"Tunjukkan dimana kamu bertemu Fahmi, Mo!" bentak Anton.
Bimo kemudian kembali menyusuri jalan yang ditempuhnya ketika tengah malam tersebut. Tapi kali ini diikuti oleh satu rombongan dan tentunya Putri ikut serta.
****
Pohon besar itu kini dikelilingi oleh banyak orang. Putri yang tertinggal di belakang mulai menerobos kerumunan orang. Alangkah terkejutnya Putri dengan pemandangan yang ada dihadapannya. Beberapa tikat terbentang dan diatasnya telah tersaji makanan dengan beraneka lauk dan sayur.
"Putri maafkan aku karena belakangan ini menghidarimu. Bukan karena aku tidak menyukaimu tapi aku butuh waktu untuk berpikir. Dan aku juga belajar mandiri sebagi bukti cintaku padamu. Aku menyiapkan semua ini dengan tanganku sendiri..."
""Ehmm," Bimo berdeham.
Fahmi melirik ke arah Bimo, " Oh iya, Bimo.membantu sedikit sebagai quality control. Intinya adalah sekarang saya sudah siap untuk menjalani bahtera hidup ini bersama denganmu. Will you marry me?"
Putri tersenyum dan mengangguk malu sebagai jawaban atas pertanyaan dari Fahmi. Air matanya kembali mengalir membasahi pipinya yang merona. Tangisan kali ini bukanlah air mata kesedihan melainkan air mata kebahagiaan.
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community( link : https://www.facebook.com/groups/175201439229892/ )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H