Kursi itu sungguh indah dipandang mata, dengan kerangka terbuat dari kayu jati yang telah berumur puluhan tahun. Warnanya coklat kehitaman pada sandaran atas dihiasi ukiran seekor rajawali yang sedang membentangkan sayapnya bersiap untuk terbang tinggi di awan. Sedangkan pada lengan kursi terukir bentuk lengkungan-lengkungan seperti kumpulan awan.
Aku mendekati kursi itu. Ku-raba tekstur ukiran tersebut mulai dari lengan kursi hingga sampai pada puncak sandarannya, untuk sekedar merasakan jejak sentuhan sang seniman hingga menghasilkan karya sebuah kursi yang sangat megah. Lalu kucoba duduk di kursi itu. Joknya terlihat mewah oleh lapisan dari kulit asli kualitas nomor satu dan pada tempat duduknya aku yakin dilapisi busa kwalitas super mewah, sehingga terasa empuk dan hangat ketika duduk diatasnya.
Baru kali ini kurasakan duduk di kursi yang senyaman ini. Selain itu posisi kursi ini juga berbeda dengan kursi-kursi lainnya yang ada di gedung. Posisinya dibuat lebih tinggi dari pada kursi-kursi lainnya, hingga menjadikanku terlihat lebih tinggi dari aku yang sebenarnya. Pada awalnya berada di tempat yang tinggi membuatku canggung, namun seiring dengan waktu aku mulai terbiasa dengan posisi tinggi kursi itu.
Kursi itu layaknya kursi seorang raja. Dan ajaibnya kursi itu bisa memberikan perasaan sabagai orang penting bagi siapa saja yang mendudukinya. Tidak terkecuali aku, semakin lama aku duduk di atasnya semakin aku sayang dengan kursi terhormat itu. Dan semakin aku sayang pada kursi yang satu ini, semakin berat pula aku meninggalkannya lama-lama. Maka dari itu aku telah memutuskan untuk menghabiskan sebagian besar waktuku diatas kursi numero uno.
Berada dibelakang meja aku bekerja dan bekerja keras dengan tetap diatas kursi kesayangan. Entah sudah berapa lama aku berada di kantor, kantung mata terasa semakin menggelayut berat. Dan ketika aku bercermin aku melihat warna hitam kini menghiasi kantung mataku. Namun tetap aku tak sudi untuk meninggalkan kursi itu sendirian di tempat yang dingin jauh dariku. Untuk persoalan meresmikan sebuah proyek ataupun pergi untuk meninjau kondisi di lapangan sudah aku delegasikan pada wakilku dengan didampingi para pamong terkait sesuai bidang tugas masing-masing. Biarlah aku tetap berada di kantor mengerjakan apa yang aku bisa.
Di dalam kantor aku sibuk mengurus surat dan proposal yang masuk dalam map yang berwarna-warni. Aku baca dan aku telaah satu persatu. Aku sangat senang membaca, sehingga surat-surat ataupun draf rancangan undang-undang kubaca berulang kali untuk memastikan tidak terjadi salah penempatan titik koma apa lagi salah ketik. Setelah aku yakin benar semua kata tersusun indah dan pas dalam hal pemilihan diksi, baru aku menandatanganinya. Satu persatu dokumen-dokumen yang yang sejak tadi pagi menggunung di atas meja, kini semakin terkikis berkat kegigihandan ketelitianku dalam menanganinya.
Hari demi hari aku mengenal wilayah yang aku pimpin melalui tumpukan kertas-kertas penting laporan buatan anak buahku. Dalam data-data yang tersaji di depanku ternyata aku mampu membahagiakan rakyat yang aku pimpin. Dan aku bangga karenanya. Itu berkat kemampuanku dalam memimpin. Itu berkat hasil kerjaku. Semakin lama kemampuanku dalam hal membaca dan mempelajari data-data serta proposal semakin baik. Dan dengan begitu aku semakin yakin bahwa aku dapat mensejahterakan rakyatku hanya dengan berada di belakang meja. Bukankah di sini aku juga bekerja keras?. Bahkan belakangan ini aku jadi jarang tidur karena keseriusanku dalam bekerja demi rakyatku tercinta.
Suatu hari terdengar suara riuh ramai di depan gerbang kantarorku. Aku tanyakan kepada para bawahanku, apa gerangan yang terjadi diluar kantor ini?. Mereka hanya menjawab bahwa yang diluar adalah orang-orang suruhan dari lawan politikku yang tidak senang dengan keberhasilanku dalam mengurus rakyat tercinta.
Lawan politikku itu tidak pernah bosan untuk menggangguku bekerja karena setiap hari selalu ada orang-orang suruhannya yang datang hanya untuk mencaci-maki namaku. Semakin hari mereka yang datang semakin kreatif dalam mencaci maki bahkan juga mereka tak segan-segan melontarkan fitnah. Beraneka ragam cara mereka gunakan mulai dari bernyanyi, berpuisi, ber-theater ria dengan membuat panggung boneka yang ditempeli fotoku, bahkan ada yang sampai kemping di depan kantor untuk menunggu kemunculanku. Menurut anak-buahku, mereka ingin menyampaikan protes terhadap kebijakanku dalam hal mensejahterakan rakyat. Tentu aku tak mau membuang-buang waktu meladeni mereka yang mungkin akan mengacaukan kebijakanku.
Sebenarnya aku sangat senang melihat rakyatku sangat kreatif dalam menyampaikan aspirasinya dengan cara menyugukan hiburan untukku. Namun di saat yang sama aku juga sedih karena talenta mereka tidak digunakan di tempat yang seharusnya, dimana mereka akan lebih bisa menggunakan keahlian mereka menghibur dengan lebih produktif, misalnya membuat pawai budaya dalam menyambut hari kemerdekaan negeri ini. Bukannya aku tidak senang dengan mereka tapi tidakkah mereka tahu bahwa aku sangat sibuk mengurus rakyatku tercinta. Sibuk dengan rencana untuk menarik investor yang dapat meningkatkan pendapatan negeri ini. Sibuk dengan data-data diatas dokumen yang akan memajukan dan mensejahterakan mereka.
Namun lawan politikku tidak hanya berhenti di situ saja. Bukan hanya kreatif tapi mereka juga semakin cerdik, culas, dan licik dalam berpolitik. Aku kini dibentur-benturkan dengan komisi pemberantasan korupsi (KPK). Apa salahku? Selama ini aku memimpin negeri ini dengan penuh pengabdian dan kejujuran. Bukankah aku selama ini berkorban untuk rakyatku bahkan keluargaku saja sering aku telantarkan demi rakyatku.
Berkali-kali aku dipaksa untuk meninggalkan kursi kesayanganku, kursi yang telah memberikanku kenyamanan. Aku tetap bergeming dengan pendapatku bahwa aku tak bersalah. Aku sudah bekerja dengan sepenuh waktuku untuk mereka bahkan aku telah berjasa membesarkan negeri yang aku pimpin ini. Bukankah dari data-data di atas kertas sudah jelas menunjukkan bahwa kepemimpinanku adalah nomor satu semenjak aku menjabat di kursi satu ini. Mengapa mereka tidak puas juga dengan keberhasilanku?
Satu persatu mereka yang sebelumnya mendukungku, sekarang mulai berbalik menyerangku. Mereka lantas bergabung menjadi lawan politik, kawan jadi lawan, begitulah politik. Walaupun aku tahu bagaimana politik itu berjalan namun perasaan ditikam dari belakang tetaplah menyakitkan. Namun demikian posisiku di atas kursi satu tetap tak tergoyahkan, aku masih mempunyai para loyalis yang setia mendukung kepemimpinanku.
Aku kembali berdiri kokoh di puncak kursi kekuasaan. Hari-hari pun kembali seperti biasanya dangan para fans-ku yang mengantre ingin bertemu denganku sambil membawa spanduk beraneka ragam dengan foto wajahku yang dicoret indah dan beberapa fotoku yang tertempel di boneka dibakar habis. Aku tidak menyalahkan mereka, aku memakluminya karena memang hari ini terasa lebih dingin daripada hari-hari biasanya. Musim hujan tiba di kota yang aku pimpin. Mereka memang butuh kehangatan dariku jadi tak apalah fotoku dibakar, aku ikhlas.
Namaku kini kian terkenal. Aku kini sering muncul di berbagai media baik skala lokal maupun nasional. Aku pun pernah diundang sebagai pembicara di seminar, walau pada akhirnya acara tersebut tidak terjadi karena mereka, para mahasiswa, lebih senang bermain kejar-kejaran denganku. Ketika aku pergi dari kampus mereka pun tetap meneriakkan namaku sebagai tanda rindu. Maafkan aku para mahasiswa, bukannya aku tidak mau bermain lama dengan kalian tapi haraplah mengerti karena sebagai pemimpin aku mempunyai banyak tugas yang harus aku emban.
Hari-hari berlalu setelah kejadian yang menghebohkan itu. Cuaca kini terasa semakin menusuk seperti jarum es yang menghujam seluruh kulitku yang sensitif. Entah kenapa hari ini terasa berbeda, kursi kesayanganku yang biasanya senantiasa memberikan kenyamanan bagiku terasa hambar. Dan ia tak mampu lagi melindungiku dengan kehangatannya dari udara yang merajam hatiku yang sudah dingin ini. Sendirian di dalam kantor yang megah kini tidak lagi memberikanku rasa bangga.
TOK TOK TOK
Aku mempersilahkan masuk. Tapi heran mengapa orang yang menjadi bawahanku bukan yang biasanya melainkan orang baru yang sama sekali aku tidak mengenalnya. Orang itu membawa setumpuk laporan yang harus aku baca dan mungkin aku tandatangani, setelah tumpukkan laporan itu aku terima ia kusuruh keluar dari tempat pribadiku.
Napasku memburu saat melihat laporan yang dia berikan. Kulihat map yang baru sampai itu satu persatu.
“Laporan macam apa ini?” Aku berkata dalam hati yang meledak-ledak, “ini bukan laporan yang aku inginkan, lagipula semuanya diberi tinta merah. Berani benar dia memberiku laporan merah. Akan aku pecat dia!”
Map demi map aku buka, lembar demi lembar aku baca; Kenaikan BBM, kenaikan gas, jembatan ambruk, kemiskinan meningkat disertai pengangguran yang mengikutinya, kejahatan meningkat, bencana dimana-mana, dan seterusnya. Aku malas meneruskan membaca, mataku perih gara-gara melihat laporan itu. Dengan emosi aku buang semua laporan yang memenuhi mejaku hingga berceceran di lantai.
Tidak lama berselang aku mendengar teriakan dari luar pagar kantor. Bukan teriakan yang biasa menghujamku dari luar pagar, tapi teriakan ini terasa akrab seolah memanggilku. Memanggilku? Di mana mereka? Kemana mereka? Lantas aku lihat dari jendela, aku melihat gempuran air keruh menyerbu dari segala arah menuju kantor yang sekarang aku diami.
Keringat dingin kini menghampiri seluruh tubuhku, mataku seperti mengejang tak percaya dengan apa yang kulihat. Air bah itu meninggi, perlahan namun pasti akan sampai pada tempatku berdiri. Aku harus cepat menyelamatkan diri, ah barang-barang berharga harus kuselamatkan terlebih dahulu. Setelah menengok kiri kanan aku melihat kursi megah, kursi nomor satu, kursi kesayanganku, aku harus menyelamatkannya. Langsung saja aku memeluk erat kursi itu, disaat yang bersamaan air liar itu berhasil sampai di depan jendela tempat aku berada dan tanpa ragu ia memecahkan jendela lalu membawa aku pergi, dihanyutkan olehnya beserta kursi yang masih aku peluk.
Lagi-lagi teriakan itu kembali terdengar, memanggilku, dengan suara samar-samar seakan berasal dari tempat yang sangat jauh. Tanganku masih berusaha memegang erat kursi yang ikut terhanyut bersamaku, aku terus menyisir sekelilingku mencari asal suara yang terus meneriakkan bukan namaku, bukan pula jabatanku, namun sesuatu yang membuatku merasa rindu.
“Ayaah…ayaah…ayaah…” teriak sebuah suara yang kini semakin dekat. Namun sebelum aku berhasil menemukan sumber suara tersebut, gengamanku atas kursi yang selama ini membuatku lupa akan keluarga kian melemah dan akhirnya terlepas. Maafkan aku keluargaku tercinta. Aku pun menutup mata membiarkan tubuh ini terseret oleh derasnya sapuan air bah. Tubuhku terasa ringan… atau lebih tepatnya jiwakulah yang melayang.
“AYAH!!”
Sontak aku kaget, jiwaku yang tadinya ringan terjatuh dengan keras kembali ke dalam tubuh ini hingga terbangun ketika mendengar suara teriakan yang menggelegar.
“Hah mana kursiku, jabatanku, kantorku?” tanyaku meracau pada perempuan yang menjadi pasangan hidupku.
“Ayah ngelindur lagi ya?” kata istriku sambil bertolak pinggang. “Ayah kan gagal jadi pejabat dan uang kita ludes gara-gara kampanye yang gak jelas itu, masa sampai sekarang masih gak sadar juga! Genting kita bocor lagi cepat dibetulkan!”
Aku teringat dengan kenyataan pahit bahwa aku tertipu dengan orang yang menawarkan jual beli suara hingga miliaran rupiah. Tetesan air membasahi kakiku. Ah biarlah bocor, nanti kalau sudah tidak hujan akan aku perbaiki. Untuk saat ini biarkanlah aku tertidur memimpikan kembali kursi satu, kursi yang selama ini menjadi impianku.
***Selesai***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H