Pagi itu, pintu gerbang rumah itu terbuka meskipun hari masih gelap, oleh dorongan tangan Hasto dengan sepedanya. Dengan tas ransel di punggung dia segera mengayuh sepeda cepat-cepat menyusuri jalan perumahan menuju jalan raya. Berada di jalur sepeda di jalan raya dia semakin cepat mengayuh sepeda balapnya seolah-olah tanpa peduli pada pengguna yang lain; seperti berlomba, semakin cepat, membelok, manuver dengan santai ia lakukan, sesuka dia. Berulang kali ia keluar dari batas jalur sepeda, seakan-akan ia benar-benar memburu waktu.
Sehingga, tiba-tiba saja satu mobil hampir menabraknya ketika Hasto menyerobot jalur dan klakson mobil itu pun keras membentaknya, membuat ribut pagi yang baru saja mulai. Pengemudi mobil itu tampaknya benar-benar dibuat kesal sehingga mengejarnya dan mengintainya dari jalur mobil. Beberapa kali ia membunyikan klakson, tetapi tetap tak dipedulikan oleh Hasto.
Kota belum terlalu ramai; pengendara sepeda tampak keluar dari jalan-jalan perumahan menyatu dengan motor dan mobil di jalan yang lebih besar, bertemu Hasto dan mulai beriringan makin banyak. Mereka kemudian menyatu di jalan yang lebih besar dengan jalur sepeda yang lebih lebar, hingga mulai tampak banyak bangunan yang kotak-kotak sisinya.
Hasto memutar di salah satu bangunan yang tak terlalu tinggi dan masih sepi. Tempat parkir masih kosong. Selang tak berapa lama satu mobil menyusul dengan manuver yang tergesa-gesa dan sopir mobil menghampiri Hasto dan membentak, ”Hasto, kamu tidak bisa rapi kalau bersepeda? Etika kamu di mana?”
Hasto terkejut dan membantah, “Ada apa, Pak?” sambil menengok kanan kiri hingga melihat mobil yang di parkir itu adalah mobil yang tadi membuat klakson kencang sekali.
“Jalan itu memangnya punya kakek kamu?” bentak si bapak lagi.
Pak Melaz, bos Hasto, seorang yang pemarah dengan bicara yang keras, dengan kumis paling tebal di kantor itu, dan kepala sedikit botak. Mata pak Melaz sedikit merah, kurang istirahat. Dandanannya rapi, kemeja lengan panjang berwarna gading polos, celana hitam, dengan sepatu mengkilat. Sabuknya berwarna hitam. Rambut disisir ke belakang, basah oleh minyak, sangat rapi.
“Saya, kan tidak salah, Pak?” tanya Hasto.
“Kamu tidak salah, menurut kamu! Menurut saya tidak punya etika!” bentak Pak Melaz.
Mereka saling bantah sembari terus berjalan cepat masuk kantor. Pak Melaz membuka pintu kantor sendiri.
“OB pemalas, jam segini belum datang. Maunya apa anak itu? Sudah dikuliahkan, malah jadi pemalas!” pak Melaz menggerutu.