“Maksud Paman?” tanyaku.
“Aku dan teman-teman mengirim sebagian hasil kegiatan di sini, lukisan-lukisanmu, puisi-puisi Abdul, dan yang lainnya, pada satu lembaga di luar negeri. Mereka tertarik, dan berniat memberi bea siswa secara khusus.”
Ternyata, lukisan senja itu lukisan terakhirku di sana.
Dan di tempat itu, tempat kulukis matahari terbenam, ternyata mampu menyembuhkan luka-luka yang getir. Setidaknya dari tempat itu kami merasakan damai yang sebenarnya, tanpa perdebatan seperti apakah damai itu, atau damai itu datang bersama siapa. Kami tertawa, bercerita, menari. Di pantai dalam lukisan itu kami berbagi damai.
Tak lagi kudengar getir perang, yang selalu menjadi bagian cerita dan perbincangan kami dulu. Entah bapak yang hilang tak kembali, mati atau hidup, tak sengaja tertembak oleh tentara-tentara yang entah yang mana memihak kami-kami ini. Kalau benar ucapan bahwa mereka membela kami, mengapa mereka tak memberi kami damai?
Ah, pantai, sedetik lalu mimpi itu membangunkanku, menyergap untuk segera tersadar dan bersholat. Di sajadah ini aku masih terduduk tersimpuh. Sementara Habib, Hasnah, Abdul menari dengan bebas suka di pantai itu.
Dari kesunyian jeritan-jeritan itu, deru suara ombak yang menyerbu, gelap tiba-tiba saja menyergap, teriakan-teriakan tolong-tolong melolong, panjang cepat bergantian bersusulan, satu dua atau tiga, puluh, ratus atau ribu; jutakah? Jeritan itu? Di cuaca yang gelap itu awan berarak-arak bergerak seringan kapas dihempas angin, bersusulan. Desis angin dan debur ombak membuat dingin.
Burung-burung gagak darimana datang? Hitam, terbang satu, dua, makin banyak, berduyun-duyun, berkoar-koar bersautan di sela-sela sambaran kilat dan gemuruh guntur. Bencanakah? Cahaya-cahaya putih berkelebatan cepat, bersusul-susul banyak, sekejap terlihat sedetik lenyap.
Sepertinya mereka akan mengambil semuanya. Mereka akan merebut paksa. Biar saja. Mereka tetap tidak bisa merebut apa yang sudah kulukis; kedamaian, ketenangan, kepenuhan. Ya, di pantai itu hatiku damai.
Dan sebentar lagi aku akan menyusuri jalan yang bersih itu. Kukejar lagi satu kesan untuk hari ini, yang akan segera tercetak dan kunikmati suatu hari nanti.
Trotoar yang makin hari makin ramai oleh suasana natal. Santa Claus sudah beberapa hari memajang diri dengan jenggot putih tebal dan jaket merah putih. Topi khasnya tak ketinggalan. Ya, natal telah menjelang. Tak lama lagi, orang-orang akan bergembira. Sepasang kakek nenek sedang saling tunjuk pohon natal dengan lampu yang berkerlap-kerlip warna-warni. Semua orang tersenyum, setidaknya mereka akan tersenyum karena semua orang bergembira. Sama seperti aku yang melukis, akan banyak orang membingkai kegembiraan yang tak akan hilang dalam foto-foto penuh senyum sampai nanti tahun baru menjelang.