Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lurah Tua dan Lurah Paris

24 Februari 2017   12:53 Diperbarui: 24 Februari 2017   13:10 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suasana yang diam tadi telah pecah, tetapi oleh Pak Wo, yang pagi-pagi telah menyiapkan lahan sawahnya untuk lahan yang dipakai menyebar benih padi. Dan rupanya hanya teriakan-teriakan tadi yang membuat ramai. Setelah percakapan dengan Pak Wo selesai, suasana teras rumah itu kembali sepi.

Tatapan mata yang tajam itu kembali beraksi. Senyum yang santun kepada Pak Wo pun telah hilang berganti dengan tak peduli. Bibir yang tadi berteriak tadi, kini seperti tercekat, tak mampu mengucapkan kalimat-kalimat. Sepertinya si bapak tahu siapa-siapa yang mesti dituturi akrab, atau malah didiamkan seribu bahasa.

“Bapak, tehnya sudah dingin. Saya ganti, ya,” Daryu mengingatkan pada si bapak pada cangkir di meja yang dikelilingi kursi. Dan setelah mengucapkannya, ia diam. Badannya sedikit condong ke depan, hendak meninggalkan tempat duduknya. Tetapi ia seperti bersabar menunggu, memaksakan diri, agar mendengar si bapak mengucapkan sesuatu. 

Ia mengangkat cangkir itu. Isinya masih penuh tanda tak disentuh. Seketika wajahnya makin muram memperlihatkan emosinya. Berlawanan dengannya, si bapak tetap tenang dengan dirinya sendiri. Wajah Daryu memerah. Si Bapak hanya memandangi cangkir teh, dan sesekali pisang goreng empat potong, dengan getuk yang kotak di piring yang terpisah.

Daryu beranjak, hendak meninggalkan tempat itu, tetapi tak jadi.

“Biar saja, tehnya nanti bapak minum yang sudah saja, tidak usah diganti.” Tiba-tiba si bapak berkata-kata. Rupanya si bapak sedari tadi mendengarkan juga perkataan Daryu.

Daryu diam lagi, tampak mati kutu. Tetapi sekejap kemudian ia memandang piring getuk dan pisang goreng, sehinggga, “Pisang gorengnya tidak dimakan?”

Sia-sia sekali lagi. Si bapak kembali diam dan membuat si gadis tampak layu, tak bisa tahan dengan sikap itu, tetapi tak bisa melakukan apa-apa.

“Bapak, sampai kapan? Kekalahan itu sudah terjadi, sudah lewat. Kenapa Bapak pikirkan terus?” tanyanya tak mendapat jawaban.

Si bapak mengambil piring pisang goreng satu potong dan menggigitnya, sekali saja dan mengunyahnya pelan. Tak memperlihatkan keinginan untuk makan cepat-cepat. Daryu memperhatikan si bapak. Wajahnya masih kecewa. Kata-katanya tak lagi ditanggapi. Wajahnya yang bersih tadi, telah berubah memperlihatkan ekspresi yang berat, bingung.

Si bapak hanya makan satu gigitan pisang goreng itu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun