Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tsunami Dream

21 Februari 2017   17:46 Diperbarui: 27 Juni 2017   00:22 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku yakin sekali, bahwa di pagi buta ini hanya diriku yang sedang menari-nari; lebih dari perasaan ketika bertemu dengan Iful atau ketika mendengar sapaannya, bukan pula yang kurasakan ketika ia ada di dekatku berdua di pantai itu, jauh dari rasa-rasa cinta anak muda itu, melebihi perasaan gembira, mungkin seperti jika kau berteriak di tanah lapang di satu bukit, suaramu jauh menimbulkan gema, terdengar di sini dan di sana, sedangkan kau ikut lepas bebas mengikuti ke mana suara itu pergi. Dapatkah kau bayangkan? Kau mengikuti suaramu, terbelah-belah, menyebar ke mana suara itu terdengar? Hanya dengan mengalaminya saja, dan itulah yang kurasakan maka perasaan itu terjelaskan.

Tak jauh dari sajadah ini, tempatku bersholat setelah mimpi yang menyeramkan barusan, lukisanku tergantung “A SUN SET BY MADINA.” Lukisan yang selalu dan mungkin akan selalu aku bawa andai pergi dan diam di suatu tempat yang jauh seperti sekarang ini, jauh dari pantai di lukisan itu. Matahari menebar sinar: merah, jingga, kuning, gelap, terang, cerah, redup; begitu penuh, lengkap bagiku. Tentu saja anggapan yang subyektif, tetapi setidaknya Joana juga mengapresiasi cukup bagus. Bagiku di sana ada Abdul, Ummi, Mustafa, Khairul, dan yang lainnya, yang bersamaku tertawa, terdiam, bersorak, melukis, berpuisi, mendengar cerita, dan semuanya.

Tak terbayangkan, terlalu seram jika gagak-gagak itu meyerbu. Awan-awan itu terlalu gelap jika kulukis menggantikan langit di sunsetku. Aku tak mau suara-suara, jeritan-jeritan yang berhamburan terlalu ramai di mimpiku merusak senja yang tenang di pantai itu. biarlah angin yang menghempaskan bara api unggun tahun baru kami ada di pantai itu,  bukan angin di mimpi yang membawa awan-awan gelap memaksaku terbangun karena ngeri.

Kami sekelompok anak-anak nelayan yang begitu beruntung bisa menggunakan pantai untuk bernyanyi, bermusik, berpuisi dan banyak lagi. Apa yang ada di benak kami, ada di pantai itu. Api unggun yang memerah ketika menantikan tahun baru berganti, dan kami menari mengitarinya. Harmonika, gitar, gendang, dan teriakan teman-teman pamanku yang berpuisi. Apakah pengalamanku kurang berkesan?

Angin yang kadang bertiup keras, menghamburkan bara-bara api dan membuat api unggun bergemeretak. Dan kami sebagian harus berlari menghindar, dan kembali lagi, menari. Tetapi ketika puisi itu diteriakkan, diiringi raungan harmonika dan denting gitar, kami tak banyak bergerak meski bara api itu mengganggu duduk kami.

Si Paman berteriak-teriak bergoyang badan seakan mabok;

lautku jangan kau surut

biar kudengar irama ombakmu

bentangkan cakrawala

dan peluklah

matahari yang lelah

di sini gadisku melukismu

Pantai yang tak terlalu bersih, tapi diri kami akrab dengannya.

Tersenyum sendiri diriku di pagi yang masih buta ini.

Tanah menggelap di lukisan itu. Satu dua siluet perahu tampak jauh, namun tak sejauh siluet rumah di kampung itu, dan air laut yang masih menyerukan gelombang geloranya tak bersembunyi, mengkilat-mengkilat di saput sisa-sisa cahaya.

Pengalaman yang berkesan. Setidaknya itulah pengalamanku yang ada dalam lukisan itu. Dan kini, aku telah jauh dari pantai itu, teman-teman, paman-paman, dan anak-anak yang lain.

“Dulu,“ Paman bercerita, “di pantai ini, seorang anak kecil dengan menenteng ember sebesar tubuhnya sendiri, berlari-lari dan berteriak, ‘Dapat banyak, Paman?’ Lalu aku memberinya seekor gurita. Dia terheran-heran sambil melihat tangannya, ketika aku jelaskan bahwa belalai-belalai itu adalah tangan-tangan gurita. Tapi si gadis itu tak juga pergi, terpaksa aku memberinya ikan yang sebesar lengannya. Setelah itu baru ia pergi. Sekarang ia sudah remaja dan pandai melukis. Aku tak mengira.”

Sedang apakah mereka di sana? Berpuisi, mendengarkan cerita, berlatih melukis, atau sedang menari? Kusadari, baru kusadari, mereka sedang mencetak kenangan-kenangan untuk suatu hari nanti dinikmati. Kusadari, baru kusadari, di negeri yang jauh ini, aku juga sedang mencetak kenangan-kenangan baru lagi.

Semuanya terjadi dirangkai oleh waktu. Waktu yang tersusun dari detik-deik kecil yang begitu rapuh. Sedetik lupa, sedetik terhentak dan semuanya telah menjadi kenangan. Tercetak begitu acak, dan ketika tersadar, tak mungkin lagi terbongkar pasang.

Begitu berharga sebuah detik, detik-detik kesadaran.

Bagiku, hari ini bukanlah hari ini yang sebenarnya. Hari ini yang sebenarnya adalah suatu hari nanti ketika aku melihatnya sebagai sebuah hari yang berkesan, karena aku melakukan sesuatu dengan kesungguhan, dengan seluruh apa adanya aku, dengan kesadaran penuh. Hari ini menjadi penting karena bila telah berlalu semuanya menjadi kenangan yang berharga.

Ataukah, itulah hidup. Dari waktu ke waktu mencetak peristiwa-peristiwa kecil dan sebentar, yang akan cepat tersimpan menjadi kenangan-kenangan.

Tetapi pagi ini, aku tidak mengenang kejadian lalu. Aku menatap lukisan itu dan di sekeliling api unggun.

“Bukan! Ini bukan kenangan!”

Kamilah yang tertawa, bahagia, bercanda, terlukis di sana, bukan gagak-gagak yang parau bersuara. Anak-anak yang masih tulus bermain lah yang ada di pantai, bukan raksasa yang hitam yang haus segala-galanya. Mimpi, raksasa itu hanyalah ada di mimpi saja. Ia tak akan merusak pantai tempat kami sehari-hari merasakan senja warna-warni seperti di lukisan itu. desis dan deru angin di mimpiku yang tak karuan menyerbu tak akan mengusir suara-suara kami yang terdengar dari lukisan itu.

Sebuah awal dan sebuah akhir ada dalam lukisan itu.

Seorang paman di kampungku, suatu hari datang ke sekolah, dan minta ijin kepada kepala sekolah untuk membuat kegiatan sore, entah bermusik, bercerita, berpuisi, mengarang, melukis, atau menari. Ia bersama-sama teman-temannya punya kemampuan untuk itu. Mereka bersama-sama ingin menularkan, terutama kepada anak-anak.

Kami anak-anak sekolah, akhirnya merasakan kegembiraan itu. Satu minggu dua kali kami di bawa ke pantai itu. Satu hari kami membuat puisi, melukis, atau mendengarkan cerita hingga dari hari ke hari kami mendapatkan semuanya. Beberapa di antara kami lebih senang musik, beberapa lagi puisi dan cerita, dan aku lebih suka melukis.

Kegiatan yang hingga kini masih terus. Sampai ketika kami beranjak remaja kami mulai bisa membantu belajar anak-anak yang baru, berlatih dan berlatih di sela-sela kesibukan sekolah.

Telah banyak lukisan kubuat, berbagai ukuran, dengan tema beragam; laut, nelayan, perkampungan, sketsa wajah dan banyak lagi.

“Jangan! Jangan bosan melukis. Tak ada yang sia-sia dengan buah karyamu sendiri, karena kau kerjakan sepenuh hati. Yakinlah suatu hari kau akan tahu,” kata-kata Pamanku menyemangati.

Hingga akhirnya, di satu sore, aku ke pantai dan melukis sendirian. Berhari-hari aku selesaikan lukisan itu di antara waktu sekolah dan pekerjaan sehari-hari.

Gadis remaja itu sama sekali tak tahu apa yang dirasakannya. Ia tak tahu, kalau pada waktu-waktu itu jantungnya berdetak lebih cepat; mengapa ia harus merelakan diri diburu-buru waktu. Ada yang membuatnya ingin melukis pantai di sore itu. Bukan dari suruhan orang, bukan ilham dari langit, bukan pula karena ada lukisan hebat tentang pantai. Mungkin ia ingin menjawab pertanyaannya sendiri; mengapa ia suka melukis, bagaimana melukis seperti yang telah dipelajarinya, dan apakah melukis itu.

Dan ia tak berhenti, ia ingin menuntaskannya. Ia tahu akan kehilangan waktu untuk bersantai atau bersenang-senang, seperti juga ia tahu akan ada orang mengatakan, ”Lukisanmu begini-begitu.” Tetapi ia tak berhenti, ia terus dan terus karena ia merasa tak merugi. Meskipun ia juga tak untung.

“Untuk diri sendiri, mengapa tidak?” toh tidak mengganggu dan merugikan orang lain.

Namun ia tak menduga, setelah lukisan itu selesai ia jatuh sakit selama beberapa hari, hampir seminggu. Sakit yang akhirnya sembuh dengan sendirinya. Ia tak nyaman dengan sakit itu. Sakit biasa saja. Lukisan itu membuatnya kelelahan. “Harus bangun lagi, harus sembuh, agar lukisan itu tak sia-sia.”

Hanya setelah gadis itu beranjak dewasa dan jauh di negeri orang, barulah ia tahu bahwa waktu itu adalah satu waktu yang akan ia harapkan bisa datang lagi. Ia tak akan pernah lupa, bagaimana ia menggores sketsa-sketsa; bagaimana ia menyapukan warna-warna langit dan mencocokkan dengan warna hasil sapuan kuasnya, bagaimana ia minta bantu pada Ahmadun meminta cat.

Ia akan ingat, seperti yang diingatnya kini, setiap warna yang dicampur dan disapukan di kanvas. Dan ia juga tak akan lupa setiap sapuan itu, kuning, merah, hitam, biru, putih dan campuran-campurannya.

Di satu sore yang lain, jauh setelah aku melukis senja, di antara teman-teman yang sibuk mengajari anak-anak, di antara paman yang bercerita dan berpuisi, Paman bertanya padaku, ”Apakah kau mau, seandainya kau belajar di luar negeri?”

“Maksud Paman?” tanyaku.

“Aku dan teman-teman mengirim sebagian hasil kegiatan di sini, lukisan-lukisanmu, puisi-puisi Abdul, dan yang lainnya, pada satu lembaga di luar negeri. Mereka tertarik, dan berniat memberi bea siswa secara khusus.”

Ternyata, lukisan senja itu lukisan terakhirku di sana.

Dan di tempat itu, tempat kulukis matahari terbenam, ternyata mampu menyembuhkan luka-luka yang getir. Setidaknya dari tempat itu kami merasakan damai yang sebenarnya, tanpa perdebatan seperti apakah damai itu, atau damai itu datang bersama siapa. Kami tertawa, bercerita, menari. Di pantai dalam lukisan itu kami berbagi damai.

Tak lagi kudengar getir perang, yang selalu menjadi bagian cerita dan perbincangan kami dulu. Entah bapak yang hilang tak kembali, mati atau hidup, tak sengaja tertembak oleh tentara-tentara yang entah yang mana memihak kami-kami ini. Kalau benar ucapan bahwa mereka membela kami, mengapa mereka tak memberi kami damai?

Ah, pantai, sedetik lalu mimpi itu membangunkanku, menyergap untuk segera tersadar dan bersholat. Di sajadah ini aku masih terduduk tersimpuh. Sementara Habib, Hasnah, Abdul menari dengan bebas suka di pantai itu.

Dari kesunyian jeritan-jeritan itu, deru suara ombak yang menyerbu, gelap tiba-tiba saja menyergap, teriakan-teriakan tolong-tolong melolong, panjang cepat bergantian bersusulan, satu dua atau tiga, puluh, ratus atau ribu; jutakah? Jeritan itu? Di cuaca yang gelap itu awan berarak-arak bergerak seringan kapas dihempas angin, bersusulan. Desis angin dan debur ombak membuat dingin.

Burung-burung gagak darimana datang? Hitam, terbang satu, dua, makin banyak, berduyun-duyun, berkoar-koar bersautan di sela-sela sambaran kilat dan gemuruh guntur. Bencanakah? Cahaya-cahaya putih berkelebatan cepat, bersusul-susul banyak, sekejap terlihat sedetik lenyap.

Sepertinya mereka akan mengambil semuanya. Mereka akan merebut paksa. Biar saja. Mereka tetap tidak bisa merebut apa yang sudah kulukis; kedamaian, ketenangan, kepenuhan. Ya, di pantai itu hatiku damai.

Dan sebentar lagi aku akan menyusuri jalan yang bersih itu. Kukejar lagi satu kesan untuk hari ini, yang akan segera tercetak dan kunikmati suatu hari nanti.

Trotoar yang makin hari makin ramai oleh suasana natal. Santa Claus sudah beberapa hari memajang diri dengan jenggot putih tebal dan jaket merah putih. Topi khasnya tak ketinggalan. Ya, natal telah menjelang. Tak lama lagi, orang-orang akan bergembira. Sepasang kakek nenek sedang saling tunjuk pohon natal dengan lampu yang berkerlap-kerlip warna-warni. Semua orang tersenyum, setidaknya mereka akan tersenyum karena semua orang bergembira. Sama seperti aku yang melukis, akan banyak orang membingkai kegembiraan yang tak akan hilang dalam foto-foto penuh senyum sampai nanti tahun baru menjelang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun