Selain Pasal 19, kami mengidentifikasi Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 juga telah dilanggar oleh GHI. Pasal ini menyatakan bahwa pelaku usaha (dalam hal ini GHI) dilarang bersekongkol dengan pihak lain (dalam hal ini toko-toko retail Indoretail dan Alfaretail di Jabodetabek) untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya (dalam hal ini menyingkirkan produk selain GHI dari rak-rak depan toko-toko tersebut) dengan maksud agar barang dan/atau jasa yagn ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan (Jabodebatek) menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Dengan strategi marketing GHI, jelas-jelas telah berpotensi menyebabkan omzet pemasaran DEF berkurang. Data tentang pengurangan omzet ini tidak kami peroleh, tetapi sebaiknya disiapkan oleh DEF untuk dokumen apabila kasus ini akan diproses di KPPU. Hal ini juga karena Pasal 19 dan 20 bersifat rule of reason dalam arti perlu ada akibat yang harus dibuktikan. Kami mencatat kemungkinan ada saja pasal-pasal lain di UU No. 5 Tahun 1999 yang dilanggar, seperti Pasal 15. Namun, kami berpendapat pasal ini tidak tepat karena perjanjian GHI dengan pihak lain (toko-toko retail itu) tidak dalam rangka memuat persyaratan untuk hanya memasok produk GHI atau menolak memasok produk di luar GHI. Produk DEF dan produk produsen lain tetap dibiarkannya terpasok di toko-toko tersebut, namun strategi marketing nya yang membuat ada perbedaan. Pembedaan ini merupakan indikasi dari persaingan usaha tidak sehat.
Terhadap pelanggaran Pasal 19 dan 24 UU No. 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 48 berupa pengenaan pidana pokok dan kemungkinan pidana tambahan. Dalam praktik, KPPU selama ini punya kewenangan menetapkan pidana denda ini. Terhadap pelanggaran Pasal 19 pidana dendanya adalah minimal Rp25milyar dan maksimal Rp100milyar dan pidana kurungan pengganti denda maksimal enam bulan. Untuk pelanggaran Pasal 24 dikenakan pidana denda minimal Rp5milyar dan maksimal Rp25 milyar atau pidana kurungan pengganti denda maksimal lima bulan.
Terlepas dari itu semua, kami ingin memberikan informasi tambahan dalam LO ini di luar yang dimintakan kepada kami untuk kasus pasca-tanggal 1 April 2019. Kami cermati bahwa DEF dan GHI pernah terikat kesepakatan pada tanggal 2 Februari 2019. Kami beranggapan kesepakatan ini mengandung problematika hukum karena berpotensi melanggar Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Pasal ini mengatur tentang larangan kartel. Jika DEF melaporkan kasus strategi marketing ini ke KPPU, harus diantisipasi apabia KPPU menelusuri permasalahannya sampai ke perjanjian tanggal 2 Februari 2019.
D. Kesimpulan
Kami menyimpulkan bahwa terdapat cukup alasan dan dasar hukum untuk melaporkan kegiatan yang dilakukan oleh GHI sehubungan dengan strategi marketing yang dijalankannya ke KPPU. Selain terdapat dasar hukum di dalam Pasal 19 dan 24 UU No. 5 Tahun 1999, juga ada preseden kasus serupa yang telah diputuskan dan dihukum pelakunya oleh KPPU.
Namun, kami tidak menyarankan hal ini dilakukan. Kecuali DEF juga siap dengan konsekuensi lain, mengingat adanya kemungkinan kasus ini akan merembet ke fakta-fakta yang terjadi sebelum tanggal 1 April 2019, yaitu DEF pernah membuat kesepakatan mengatur produksi dan pemasaran produk dengan GHI.
Kami menyarankan agar DEF dapat melakukan tindakan persuasif dengan meminta GHI menghentikan strategi marketing tesebut, sebelum menempuh jalur hukum melaporkan kasus ini ke KPPU sebagai tindakan ultimum remedium.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H