"Jadikanlah sholat dan sabar sebagai penolongmu." Penggalan dari surat Al-Baqoroh: 153 ini adalah favorit saya. Yang menjadikan saya tetap kuat pada saat terpuruk. Yang membuat saya takjub, bahkan dalam kondisi terendah pada saat itu, di benak ini tidak sedikit pun terbesit keinginan bunuh diri, malah tetap waras serta sehat jasmani dan rohani. Sholatlah, sebesar apapun dosa dan kesalahan yang pernah kau lakukan. Sholatlah, meskipun sering kali engkau masih lemah dan tergoda untuk berbuat maksiat. Sholatlah, meski belum bisa mencapai kekhusyukan. Sholatlah apapun yang terjadi, apapun kondisinya. Suatu ketika sholatmu itulah yang akan menolongmu. Yang membuatmu malu kepada Tuhan ketika engkau melanggar larangan-Nya. Yang akan menuntunmu untuk kembali ke jalan yang benar. Yang akan menolongmu di dunia dan akhirat.
Saya belajar sholat ketika masih..lupa umur berapa. Bapak yang mengajari. Setiap maghrib bapak membiasakan kami, anak-anaknya ini, sholat berjamaah di rumah. beliau yang menjadi imam, lalu dilanjutkan belajar mengaji. Pada waktu kelas 3SD saya pindah tinggal di rumah embah (ibu dari bapak), saya ga pernah berhenti diingatkan beliau untuk sholat 5 waktu. Setiap hari..berturut-turut. Dari situlah saya baru tau bahwa sholat itu wajib bagi umat muslim. Sholat yang akan menjaga saya, karena suatu saat ketika embah, orang tua, ataupun keluarga tidak bisa terus-terusan menjaga saya, Yang Mahakuasalah yang akan menjaga hamba-Nya.Â
Mungkin itulah yang membuat bapak saya yakin untuk melepas saya merantau kuliah dan bekerja. Sedari kecil sampai SMA sekalipun saya tidak pernah pergi keluar kota sendirian. Harus didampingi ibuk atau bapak. Dan tiba-tiba saat lulus SMA, bapak mengijinkan saya kuliah keluar kota. Sampai lulus kuliah pun beliau mengijinkan saya bekerja dimana saja, dibidang apapun yang saya sukai. Saat itu saya biasa aja, tapi makin kesini saya rupanya takjub betapa berbesar hatinya orang tua saya.Â
Di sisi lain saya pernah mendengar cerita kawan atau sahabat yang orang tuanya tak tega melepasnya kuliah/ kerja keluar kota, apalagi tinggal jauh-jauh. Kok orang tua saya tatag ya hatinya..kan saya anak perempuan, anak bungsu (sebetulnya beliau mengizinkan kakak-kakak saya juga kok). Ternyata ya itu tadi, karena beliau yakin Allah yang akan menjaga anak-anaknya kemanapun pergi. Bapak saya ini bukan orang yang banyak omong, tapi pada saat mengantar saya berangkat ke Jakarta 7 tahun lalu karena saya diterima kerja, pesennya cuma satu: sholatnya dijaga ya.. Pada waktu saya pamit untuk bepergian kemana saja, pesennya juga sama: sholatnya jangan ditinggal ya, vy
Saya nggak bilang orang yang menjaga sholatnya itu pasti baik dan terhindar dari perbuatan keji, munkar, zina, maksiat dan semacamnya. Ada yang masih STMJ (sholat terus maksiat jalan). Tapi saya percaya suatu saat sholatnya itulah yang akan menolongnya untuk mengurangi, berhenti, dan lama-lama menjauhi perbuatan tersebut. Manusia itu berproses, kan? Tapi makin kesini, ternyata kawan-kawan saya (yang muslim) itu makin beraneka macam.Â
Di lingkungan sekolah sampai kuliah relatif sama. Relijius semua. Baru keliahatan pas jaman sudah bekerja. Ada yang muslim tapi memilih tidak sholat, ada yang sholatnya jarang-jarang, ada yang sholat 5 waktu, ada yang cuma sholat Jumat aja, ada yang cuma sholat Id, ada yang sholat malamnya rajin tapi 5 waktunya bolong-bolong, macam-macamlah pokoknya. Saya sendiri orangnya toleran banget sih sama pilihan orang. Jadi kalaupun mau sholat ya nggak pernah ngajak-ngajak atau nyuruh. Saya mengibaratkan muslim dengan sholat itu bukan sekedar kewajiban, tapi komitmen. Komitmen kepada Tuhannya. Komitmen itu berasal dari kesadaran pribadi. Keinsafan. Jadi bukan paksaan. Dan komitmen ini bisa terlihat saat manusia berada dalam keadaan yang tidak kondusif.Â
Ketika sedang sibuk, ketika berada di tempat asing, pada saat asyik dengan orang-orang yang disukainya, atau pada waktu sakit. Jadi gampangnya, yang sholatnya tertib di kantor/rumah (karena dia berada di tempat yg dekat dengan mushola dan kesibukannya bisa diatur), belum tentu tetap menjaga sholatnya pada saat maen dengan kawan-kawannya di mall, pada waktu rekreasi, atau saat sakit. Saya sering menemui macam-macam yang seperti ini. Karena ya itu tadi.. semakin dewasa, lingkungan pergaulan akan meluas. Istilahnya, kalo maennya sudah jauh dan pulangnya sudah pagi, akan semakin banyak melihat rupa-rupa dunia.Â
Itulah mengapa justru kepuasan relijius saya justru semakin sederhana. Ketika bepergian/ rekreasi bareng kawan-kawan yang istiqomah menjaga sholatnya, bahkan tetap sholat di daerah yang islamnya asing, di bus, di kereta, di pesawat, di pojokan ruangan yang sepi karena memang ga ada musholla, adalah kebahagiaan spiritual buat saya. Maen dengan kawan-kawan ketika waktu sholat tiba trus ada yang langsung pamit "jangan pergi dulu ya, gua sholat dulu" padahal itu lagi di mall atau tempat nongkrong, itu sungguh bikin hati saya tentram.Â
Dan yang lebih membahagiakan adalah ketika kawan yang sering nemenin saya belanja, yang mengaku muslim tapi memilih tidak sholat, yang biasanya kalo pas saya sholat dia cuma nunggu di depan musholla atau nunggu di counter tertentu, suatu saat pas saya pamitin "bentar yak, aku sholat dulu" tiba-tiba dia bilang "mbak, aku ikut sholat". Alhamdulillah.. Ada rasa kepuasan batin ketika kita dikelilingi oleh orang-orang baik, orang-orang yang selalu ingat Tuhan dikala sibuk, yang terkadang dari luar tidak ada atribut "stereotip relijius" tapi komitmen kepada Tuhannya melebihi kepada manusia.Â
Namun ketika orang yang kamu sayang justru gampang sekali meninggalkan sholatnya, lebih memilih ngajak nonton  atau belanja atau berkegiatan apapun di jam-jam yang berpotensi kehilangan waktu sholat, atau cuek saja melihat kamu sholat sementara dia tidak, rasanya ada yang hilang. Ada kehampaan. Duh, sayangnya.. Itulah mengapa saat-saat yang paling mengharukan buat saya saat ini adalah ketika pulang ke rumah, lalu sholat Maghrib diimami bapak. Ada memori indah yang terulang. Inilah kebahagiaan spiritual saya (terlepas keutamaan sholat lebih baik di masjid). Bapak adalah imam saya saat ini, yang mengajari saya sholat, menjaga sholat, dan percaya anak-anaknya selalu dijaga Yang Mahakuasa karena sholatnya. Maka ketika saya ditanya apa kriteria calon suami saya, sekarang saya tahu jawabannya. Dialah laki-laki yang selalu menjaga sholatnya, dikala senggang maupun sibuk, sehat ataupun sakit, ditempat yang kondusif maupun asing. Insyaallah dia akan menjadi sahabat saya di dunia dan akhirat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H