Ditopang badan yang kurus Mahatma Gandhi menahan lapar karena solider pada bangsanya yang juga menerus menahan lapar, tetapi Gandhi tetap tegar berujar, "my nasionalism is humanity"
Batas nalar dan batas moral kita sebagai bangsa pun secara perlahan pudar. Satu per satu sumberdaya alam negeri ini dilego kepada cukong-cukong taipan Sebagian anak-anak negeri ini telah mencoba menginterupsi berulang kali, namun obral sumberdaya alam pada taipan itu tetap dilanjutkan. Pemerintah ini juga menjadi begitu ramah pada taipan, paradigma dengan gaya pembangunan modern agar dianggap sebagai kota dunia yang maju. Para penghulu negeri nampaknya yakin betul akan adanya orang miskin menghambat pembangunan padahal mereka kumuh akibat dari tak terurus oleh pemerintah itu sendiri.
Ketimpangan ekonomi semakin menjadi-jadi, polarisasi kekuatan ekonomi pun menjadi tak terelakkan dan selanjutnya, polarisasi sosial pun menjelma. Orang-orang kaya sudah mulai jijik bertetangga dengan orang miskin dan mulai bikin lingkungan rumahnya sendiri dengan pagar tinggi, berduri, dan bahkan dialiri listrik tegangan tinggi. Anak-anak orang kaya itu kemudian juga hanya boleh bersekolah di sekolah mewah mereka sendiri, menjauhi dengan jijik anak-anak dari keluarga miskin. Dan celakanya, negara ternyata secara menerus turut memfasilitasi kecenderungan ini.
Apa yang terjadi kini ternyata seperti pengulangan peristiwa masa kolonial dulu, ketika pemerintah kolonial membagi masyarakat Hindia-Belanda kedalam tiga katagori: masyarakat keraton, rakyat biasa, dan masyarakat Timur Asing (India, China, dan Arab). Masyarakat keraton dijadikan tangan kanan dalam bidang pemerintahan, warga Timur Asing dijadikan tangan kanan di bidang perekonomian, sedangkan mayoritas rakyat biasa dijadikan tenaga kerja paksa untuk kepentingan ekonomi Belanda.
Saat ini relatif sama seperti masa penjajahan dahulu, masyarakat kelas bawah, seperti petani, nelayan, pekerja sektor informal, serta buruh perusahaan, yang merupakan mayoritas warga, praktis tidak memiliki peluang untuk meningkatkan status sosialnya melalui pendidikan. Anak-anak mereka sulit mengenyam pendidikan bermutu karena impitan ekonomi dan biaya pendidikan yang terlampau mahal.Â
Kalaupun mereka dapat mengenyam pendidikan, mutu sekolah yang dimasuki jauh di bawah sekolah-sekolah yang dimasuki anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Mereka umumnya sulit mencapai jenjang pendidikan menengah, apalagi pendidikan tinggi. Akibatnya, mereka tidak memiliki cukup bekal akademis untuk bersaing secara adil dengan anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas dalam memanfaatkan peluang usaha yang tersedia
Begitu banyak rakyat yang tidak diurus negara, bahkan meninggal karena lapar yang tak lagi bisa ditahan, saat saudara sebangsanya yang lain sedang berpesta-pora atas nama demokrasi. Ada ketidakpedulian yang meluas di antara masyarakat seusai kita meneriakkan reformasi kita mulai dan benteng-benteng tebal lagi bebal belum tumbang seutuhnya. Lebih menakutkan lagi, ketika negara seperti tidak berbuat apa pun untuk mengatasi problem kerakyatan saat ini.
Padahal, mensejahterakan rakyat adalah bagian dari cita-cita kehidupan bernegara yang diamanatkan konstitusi. Tetapi, bentuk kesejahteraan seperti apa yang dilakukan negara, tampaknya tidak kunjung terwujud.
Tidak heran, bila di antara kita rakyat Indonesia mulai muncul apatisme dan keraguan tentang untuk apa kita bernegara, jika fakir miskin dan anak telantar yang seharusnya dipelihara negara dibiarkan hidup tanpa bantuan negara. Juga untuk apa kita berbangsa, jika sekelompok orang atas nama pengembang dibiarkan memberangus kehidupan sesamanya, tanpa sedikit pun negara tampil sebagai pelindungnya.