Mohon tunggu...
Wahy
Wahy Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sedang dalam studi menumbangkan tirani tanpa modal tinggi cukup dengan granita kupi dan Mie cepat jadi tanpa imunisasi.Amin

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pahlawan Reklamasi Penyambung Lidah Pengembang

5 Mei 2016   19:56 Diperbarui: 5 Mei 2016   21:19 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ditopang badan yang kurus Mahatma Gandhi menahan lapar karena solider pada bangsanya yang juga menerus menahan lapar, tetapi Gandhi tetap tegar berujar, "my nasionalism is humanity"

Batas nalar dan batas moral kita sebagai bangsa pun secara perlahan pudar. Satu per satu sumberdaya alam negeri ini dilego kepada cukong-cukong taipan Sebagian anak-anak negeri ini telah mencoba menginterupsi berulang kali, namun obral sumberdaya alam pada taipan itu tetap dilanjutkan. Pemerintah ini juga menjadi begitu ramah pada taipan, paradigma dengan gaya pembangunan modern agar dianggap sebagai kota dunia yang maju. Para penghulu negeri nampaknya yakin betul akan adanya orang miskin menghambat pembangunan padahal mereka kumuh akibat dari tak terurus oleh pemerintah itu sendiri.

Ketimpangan ekonomi semakin menjadi-jadi, polarisasi kekuatan ekonomi pun menjadi tak terelakkan dan selanjutnya, polarisasi sosial pun menjelma. Orang-orang kaya sudah mulai jijik bertetangga dengan orang miskin dan mulai bikin lingkungan rumahnya sendiri dengan pagar tinggi, berduri, dan bahkan dialiri listrik tegangan tinggi. Anak-anak orang kaya itu kemudian juga hanya boleh bersekolah di sekolah mewah mereka sendiri, menjauhi dengan jijik anak-anak dari keluarga miskin. Dan celakanya, negara ternyata secara menerus turut memfasilitasi kecenderungan ini.

Apa yang terjadi kini ternyata seperti pengulangan peristiwa masa kolonial dulu, ketika pemerintah kolonial membagi masyarakat Hindia-Belanda kedalam tiga katagori: masyarakat keraton, rakyat biasa, dan masyarakat Timur Asing (India, China, dan Arab). Masyarakat keraton dijadikan tangan kanan dalam bidang pemerintahan, warga Timur Asing dijadikan tangan kanan di bidang perekonomian, sedangkan mayoritas rakyat biasa dijadikan tenaga kerja paksa untuk kepentingan ekonomi Belanda.

Saat ini relatif sama seperti masa penjajahan dahulu, masyarakat kelas bawah, seperti petani, nelayan, pekerja sektor informal, serta buruh perusahaan, yang merupakan mayoritas warga, praktis tidak memiliki peluang untuk meningkatkan status sosialnya melalui pendidikan. Anak-anak mereka sulit mengenyam pendidikan bermutu karena impitan ekonomi dan biaya pendidikan yang terlampau mahal. 

Kalaupun mereka dapat mengenyam pendidikan, mutu sekolah yang dimasuki jauh di bawah sekolah-sekolah yang dimasuki anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Mereka umumnya sulit mencapai jenjang pendidikan menengah, apalagi pendidikan tinggi. Akibatnya, mereka tidak memiliki cukup bekal akademis untuk bersaing secara adil dengan anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas dalam memanfaatkan peluang usaha yang tersedia

Begitu banyak rakyat yang tidak diurus negara, bahkan meninggal karena lapar yang tak lagi bisa ditahan, saat saudara sebangsanya yang lain sedang berpesta-pora atas nama demokrasi. Ada ketidakpedulian yang meluas di antara masyarakat seusai kita meneriakkan reformasi kita mulai dan benteng-benteng tebal lagi bebal belum tumbang seutuhnya. Lebih menakutkan lagi, ketika negara seperti tidak berbuat apa pun untuk mengatasi problem kerakyatan saat ini.

Padahal, mensejahterakan rakyat adalah bagian dari cita-cita kehidupan bernegara yang diamanatkan konstitusi. Tetapi, bentuk kesejahteraan seperti apa yang dilakukan negara, tampaknya tidak kunjung terwujud.

Tidak heran, bila di antara kita rakyat Indonesia mulai muncul apatisme dan keraguan tentang untuk apa kita bernegara, jika fakir miskin dan anak telantar yang seharusnya dipelihara negara dibiarkan hidup tanpa bantuan negara. Juga untuk apa kita berbangsa, jika sekelompok orang atas nama pengembang dibiarkan memberangus kehidupan sesamanya, tanpa sedikit pun negara tampil sebagai pelindungnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun