Semarang (19/01/2021) – Selain krisis kesehatan dan perekonomian, pandemi Covid-19 dengan semua protokol kesehatan dan pembatasan sosial yang hadir sebagai konsekuensinya juga menyebabkan terjadinya krisis informasi di tengah masyarakat. Diharuskannya pembatasan sosial bukan hanya menyebabkan laju aktivitas perekonomian melambat, namun juga berimbas pada cara masyarakat mencari dan menerima informasi. Anjuran untuk meminimalisir kerumunan dan pertemuan yang tidak perlu untuk sementara waktu ini, meningkatkan geliat aktivitas masyarakat di media maya, termasuk saat mengakses media sosial seperti facebook, twitter, blog, dan portal berita daring guna memenuhi kebutuhan informasinya.
Sayangnya, tidak semua informasi yang beredar selama pandemi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Beberapa waktu lalu, World Health Organization (WHO) menyebut, disamping penyebaran virus corona yang menjadi pandemi, terjadi pula infodemi. Infodemi adalah adanya informasi yang jumlahnya masif, baik yang akurat maupun tidak, mengenai Covid-19. Bisa dibilang, infodemi menyebar lebih cepat dari pandemi itu sendiri. Infodemi yang membawa informasi yang tidak semuanya valid tentu sama ngerinya dengan pandemi, karena dapat menyebabkan misinformasi dan memengaruhi cara pandang masyarakat tentang penyakit Covid-19 yang belum ditemukan obatnya sampai saat ini. Alhasil, banyak ditemui konspirasi maupun hoax terkait Covid-19.
Melihat permasalahan tersebut, penguatan literasi informasi dan media di masyarakat semakin menampakkan urgensi. Hal inilah yang dilakukan oleh Whisma Febryan, salah seorang mahasiswa KKN Tim 1 Universitas Diponegoro 2021 yang melalui program KKN-nya mencoba mengedukasi dan mengajak masyarakat agar lebih bijak menyeleksi informasi dan memanfaatkan gawai digital.
Pertama, meningkatkan kapasitas masyarakat menyongsong era industri 4.0. Salah satu ciri masyarakat sekarang dan di masa yang akan datang adalah banyaknya informasi dan pesatnya teknologi. Hari ini kita menguasai suatu piranti, tidak lama berselang akan ada yang lebih canggih dari piranti yang telah kita kuasai. Maka, sebenarnya yang dibutuhkan dari kita adalah kemampuan dan kemauan untuk senantiasa belajar, skill menjadi life-long learner atau pembelajar sepanjang hayat.
Kedua, membentuk kebiasaan berpikir kritis-kreatif. Poin penting dari literasi informasi salah satunya ada dalam hal evaluasi informasi. Dengan literasi informasi kita akan terdorong untuk evaluatif, memeriksa informasi yang kita dapatkan sebelum membagikannya kepada orang lain. Dengan kata lain, kita bisa mengasah kemampuan berpikir kritis dengan tidak langsung begitu saja mempercayai informasi yang kita dapat tentang suatu fenomena yang sedang berkembang. Kita akan terdorong untuk mencari tahu kebenaran dari informasi tersebut melalui perbandingan di berbagai sumber yang dapat dipercaya.
Ketiga, melawan konten negatif (hoax) di internet. Poin ini masih berhubungan dengan poin sebelumnya. Dengan tidak menyebarkan informasi sebelum mengecek kredibilitas sumbernya, kita secara tidak langsung telah memerangi penyebaran berita palsu dan misinformasi, karena kita sadar betul bahwa menyebarkan informasi tanpa mengecek kejelasan sumber terlebih dulu dapat merugikan orang lain.
Selain itu, melalui program ini Whisma juga menyinggung bahwa literasi, dewasa ini, bukan hanya dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan menalar, memproses dan bereaksi terhadap informasi. Perkembangan teknologi turut andil dalam menggeser arti literasi itu sendiri dari makna kata dasarnya.
Sosialisasi ini mendapatkan tanggapan positif dari Bu Nova, selaku Bu RT 04 RW 01 Meteseh, yang menyampaikan dalam sesi diskusi santai, “Materinya cukup bagus dengan mengingatkan masyarakat supaya tidak mudah percaya pada informasi yang beredar di internet sebelum dicek kebenarannya. Ini tentu bermanfaat sekali, karena untuk ibu-ibu macam kami jangankan membaca kritis, Mas, baca undangan saja ibu-ibu cuma dibaca keterangan waktu dan tempatnya tok, hehe.” tutur Bu Nova.
Kegiatan sosialisasi ini dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan yang mewajibkan setiap individu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Untuk menghindari kerumunan, dilakukan pembatasan terhadap peserta sosialisasi yakni maksimal sepuluh orang. Dalam kegiatan sosialisasi, Whisma membagikan booklet dan leaflet berisi rangkuman poin pembahasan yang diberikan kepada setiap audien yang hadir sekaligus sebagai jembatan dalam memahami materi.