Sejak Desember 2019, dunia dikejutkan oleh timbulnya suatu jenis virus baru yang belum ditemukan obatnya. Jutaan bahkan mungkin milyaran orang panik. Tanpa menyadari bahwa ada mekanisme pertahanan diri tersembunyi dalam tiap entitas di bumi ini.
Tanpa ada maksud sedikitpun melawan titah yang terhormat penguasa negara Republik Indonesia. Sangat disayangkan anjuran yang lebih tersohor di khalayak adalah penggunaan masker dan penjagaan jarak bersosial.
Tidak ada yang salah dengan itu.Â
Namun pertanyaan yang meresahkan saya dalam mengutamakan hal tersebut adalah, "Mengapa memperkuat imunitas diabaikan dan tidak menjadi anjuran utama?"
"Hati yang gembira adalah obat yang manjur" tertulis dalam salah satu kitab orang Nasrani.
"Ketahuilah, di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, baiklah tubuh seluruhnya, dan apabila daging itu rusak, rusaklah tubuh seluruhnya. Ketahuilah olehmu, bahwa segumpal daging itu adalah qalbu(hati)" tertulis dalam hadist HR Bukhari.
Didukung oleh para peneliti yang saya kutip dari artikel Kompas berikut.
Ternyata dalam hal imunitas ditopang kebahagiaan, agama dan ilmu pengetahuan bisa berjodoh.Â
Di sisi lain.
Para oknum perusak keharmonisan, menuduh sains menjadi dalang yang mengacau rutinitas keagamaan. Pun sebaliknya. Oknum yang mengaku berintelektual menuduh oknum nakal nan radikal menjadi dalang penyebaran virus yang tak terbendung. Saya menggunakan kata oknum beberapa kali untuk terus menekankan bahwa kegaduhan dari situasi ini hanya disebabkan oleh oknum tertentu.
Perpecahan yang ditimbulkan, hanya semakin merengut kebahagiaan. Pertahanan tubuh dalam peperangan dengan virus ini pun semakin melemah. Belum lagi dengan bercanda yang membuat bahagia justru dihujat. Solusi memperkuat imun dengan rempah-rempah dianggap rendah. Mengapa? Apa karena peneliti mancanegara belum mendeklarasikan khasiat manfaatnya?