Ada satu pergulatan dalam hati saya ketika ingin menuliskan opini saya ini. Karena saya masih mengakui, dengan sangat bangga tentunya, bahwa saya adalah rakyat Indonesia. Tetapi saya bergulat dalam hati untuk menonjolkan perasaan malu akan bobroknya bangsa ini. Setiap kali saya menulis kebobrokan bangsa ini, saya pun merasa itu koreksi bagi diri saya sendiri. Karena saya adalah bagian dari bangsa ini.
Paspor, KTP, SIM--kemudian apa lagi? mungkin anda bisa membantu saya dalam menuliskan sisanya-- adalah sebuah bukti otentik dari kebobrokan saya sendiri. Sungguh sangat salut saya berikan bagi anda yang melalui proses dengan murni tanpa jalan pintas, maupun orang dalam. Karena jujur, saya sendiri masih  menggunakan jasa-jasa gelap dalam proses mendapatkan surat-surat tersebut.
Itu hanyalah sebagian kecil contoh kesalahan yang rakyat lakukan. Masih banyak lagi mungkin yang belum saya ketahui. Mafia bertebaran di setiap sudut negara ini, mulai dari yang paling ramai(Pasar) sampai yang paling sepi (Kuburan). Kalau berfokus pada kesalahan-kesalahan yang rakyat(saya) lakukan, maka saya yakin tidak akan habisnya. Hanya saling menyalahkan satu dengan yang lainnya. Berujung perang saudara.
Hal kedua yang ingin saya tekankan disini adalah, "Wakil" Rakyat. Wakil diambil dari rakyat. Wakil adalah contoh yang menggambarkan rakyat. Seorang dosen statistik saya pernah mengatakan bahwa, statistik dapat mewakilkan kumpulan data. Tanpa melihat keseluruhan data, dengan menggunakan statistik, kita dapat mengetahui sifat data tersebut. Inilah yang terjadi dengan wakil rakyat.
Seharusnya ketika memprotes wakil rakyat, saya sebagai rakyat harus berkaca. Karena Wakil adalah contoh yang menggambarkan rakyat. Setiap wakil rakyat yang terpilih, bagaimana sifat dia sebagai wakil saya, begitulah sifat saya yang sebenarnya.
Mungkin sampai tahap ini, anda para pembaca sudah mulai bosan membaca tulisan saya yang berbelit-belit. Sebenarnya saya hanya ingin menegaskan, marilah kita rakyat berubah mulai dari hal-hal kecil. Saya sering protes wakil rakyat KKN, tetapi tanpa sadar dalam kehidupan saya, saya melakukan hal yang sama, hanya mungkin berbeda teknisnya. Tetapi secara prinsipnya sama, tetap saja KKN.
Perubahan para wakil rakyat harus dimulai dari diri sendiri. Menaati peraturan lalulintas, bahkan pada waktu tidak ada polisi, adalah salah satu bentuk dukungan terhadap perubahan para wakil rakyat.
Bagaimana wakil dapat berubah jika yang diwakilkan tidak pernah mau untuk berubah? Bagaimana wakil dapat melakukan hal yang baik untuk kepentingan rakyat, sementara rakyatnya selalu lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada orang lain?
Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa, ini saya tuliskan termasuk untuk menegur diri saya sendiri juga, bukan semata-mata menghakimi pihak-pihak tertentu. Mari kita sama-sama saling membantu untuk mengingatkan dan saling bekerja sama satu dengan yang lain, untuk perubahan bangsa ke arah yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H